Benarkah Gelar Haji di Indonesia Ternyata Bukan dari Arab Saudi?

Gelar Haji di Indonesia
Foto: Gelar Haji di Indonesia Jaman dulu/ist
banner 400x400

Hajinews.co.idSelalu menarik jika ada orang yang baru pulang ibadah haji selama 40 hari. Artinya, panggilan nama mereka dari orang sekitar akan jadi berubah.

Jika baru dipanggil “Pak/Bu”, setelah haji namanya akan berubah menjadi “Pak Haji/Bu Hajah”. Selain itu juga ditambah gelar H/Hj. didepan namanya.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Hal ini sudah menjadi hal yang sangat populer di Indonesia. Namun ternyata sebutan Haji/Hajah tidak berasal dari Arab Saudi dan hanya ada di Indonesia.

Berikut asal usulnya yang perlu kamu tahu!

Asal Usul Gelar Haji di Indonesia: Berasal dari Kompeni Belanda!

Pada dua abad lalu, pergi haji bukan hanya sebatas dilihat dari sudut pandang bisnis, ibadah atau spiritual. Namun juga, dari sudut pandang politik.

Hal ini karena para jamaah haji asal Indonesia dianggap kerap ‘berulah’ usai pulang dari Makkah. Dalam pandangan kompeni Belanda, para jamaah kerap belajar hal-hal baru saat di Tanah Suci.

Saat mereka pulang kampung ke Indonesia, mereka menyebarkan ajaran baru itu, yang dapat memantik rakyat di akar rumput untuk berontak kepada pemerintah Hindia Belanda. Jacob Vredenbregt dalam Indonesia dan Haji (1997) menyebut, pikiran seperti ini pertama kali muncul di era Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, pada 1810-an.

Pada masa itu, pencetus Jalan Raya Anyer-Panarukan itu berpikir kalau seorang pribumi yang pulang Haji kerap menghasut rakyat untuk berontak ketika berpergian. Karena ini, Daendels meminta para jamaah untuk mengurus paspor haji sebagai penanda.

Dulunya Orang Jawa yang Pergi Haji Disebut Sok Suci…

Pemikiran yang sama juga dimunculkan saat Indonesia dijajah Inggris lewat Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles. Dalam catatannya berjudul History of Java (1817), Raffles bahkan terang-terangan “menyerang” orang pergi haji.

Ia mengatakan, orang Jawa yang pergi haji itu sok suci. Karena dengan kesuciannya itu mereka bisa menghasut rakyat dan menjadi ujung tombak perlawanan di kalangan kelompok masyarakat.

Meski demikian, tulis Dien Madjid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008), kebijakan politis haji baru diterapkan secara menyeluruh pada 1859 lewat aturan khusus. Aturan ini mengatur secara jelas mekanisme penerimaan orang yang baru saja pulang haji. Lewat mekanisme ini, mereka bakal melalui serangkaian ujian.

Apabila lolos ujian, maka mereka diharuskan menyantumkan gelar haji dalam sapaan atau nama. Sekaligus juga diwajibkan mengenakan pakaian khas orang haji, yakni jubah ihram dan sorban putih.

Melansir CNBC Indonesia, latar belakang aturan ini sebenarnya berangkat dari ketakutan dan sikap traumatis pemerintah Hindia Belanda. Sebab, di abad ke-19, banyak pemberontakan bermula dari mereka yang pulang haji. Salah satu yang terbesar adalah Perang Jawa pada 1825-1830.

Sampai orang Belanda ini memandang orang bergelar haji sebagai bentuk kewaspadaan.

Agus Sunyoto: Pemberontakan Dulunya Dipelopori oleh Guru hingga Ulama dari Pesantren

Mengutip NU Online, arkeolog Islam Nusantara, Agus Sunyoto mengatakan pemberian gelar Haji mulai muncul sejak tahun 1916. Dulunya, pemberontakan selalu dipelopori oleh guru thariqah, haji, dan ulama dari Pesantren.

“Kenapa dulu tidak ada Haji Diponegoro, Kiai Haji Mojo, padahal mereka sudah haji? Dulu kiai-kiai enggak ada gelar haji, wong itu ibadah kok,” kata Agus Sunyoto.

“Sejarahnya (gelar “haji”) dimulai dari perlawanan umat Islam terhadap kolonial. Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori guru thariqah, haji, ulama dari Pesantren, sudah, tiga itu yang jadi ‘biang kerok’ pemberontakan kompeni, sampai membuat kompeni kewalahan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Agus penulis buku “Atlas Wali Songo” mengatakan, para kolonialis sampai kebingungan karena setiap ada pribumi pulang dari Tanah Suci selalu terjadi pemberontakan. Untuk memudahkan itulah, pada tahun 1916 penjajah mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar “Haji”.

“Tidak ada pemberontakan yang tidak melibatkan haji, terutama kiai haji dari pesantren-pesantren itu,” kata Agus.

“Untuk apa (ordonansi haji)? Supaya gampang mengawasi, intelijen, sejak 1916 itulah setiap orang Indonesia yang pulang dari luar negeri diberi gelar haji,” lanjutnya.

Panggilan tersebut akhirnya terwariskan hingga kini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar