Disway: Lumpur Timah

Lumpur Timah

Di situ disebut soal penambangan ilegal. Lalu soal peralatan processing timah milik swasta.

Tapi tidak ada media yang memberitakan di mana letak korupsinya. Saya pun jadinya hanya menduga-duga.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Reza Pahlevi, dirut PT Timah di tahun kerja sama itu (2016?) adalah orang keuangan. Ia memang sarjana geologi dari Trisakti Jakarta, tapi setelah itu lebih mendalami soal keuangan. Ia meraih gelar MBA dari Cleveland, Ohio, Amerika.

Sebelum jadi dirut Timah pun Reza menjabat direktur keuangan PGN, juga BUMN.

Sebagai orang keuangan mungkin Reza pusing melihat keadaan PT Timah: lahan garapannya mahaluas. Di darat dan di laut. Di sekitar Bangka dan Belitung.

Yang lebih tidak masuk akal lagi: ekspor timah swasta lebih besar dari ekspor timah PT Timah. Pertanyaannya: dari mana swasta itu dapat timah. Padahal lahan garapannya sangat kecil.

Semua orang tahu apa yang terjadi. Anda pun tahu. Hanya tidak bisa bicara. Tidak berani. Apalagi direksi PT Timah. Sejak dulu. Sampai kini.

Saya tidak tahu apakah Reza, sebagai dirut saat itu, ingin keluar dari kemelut turun-temurun itu: dari pada cadangan timah milik PT Timah dicuri, lebih baik biarlah tetap dicuri tapi PT Timah dapat bagian.

Maka lebih baik pencurian itu dilegalkan. Dikoordinasi. Diolah di dalam negeri.

Kebetulan ada swasta yang sanggup mengoordinasi. Juga sanggup menampung hasil curian yang sudah dilegalkan itu. Lalu lumpur timahnya diolah di mesin mereka. Dimurnikan. Mirip pemurnian nikel.

Kalau yang terjadi seperti itu saya angkat topi pada Reza. Ia bisa mengakhiri pencurian masal berwindu-windu di sana.

Asal demi PT Timah. Demi negara. Tidak ada kongkalingkong antara swasta dan pribadi-pribadi di manajemen PT Timah.

Jangan-jangan korupsinya di situ? Kelompok swasta tersebut mengalirkan sebagian keuntungan ke oknum PT Timah?

Jangan-jangan itu hanya perkiraan saya yang salah. Ternyata bukan itu sama sekali. Hanya jaksa yang tahu.

Maka saya harus sabar menunggu berita lanjutan: di mana letak korupsinya.

Toh besok saya masih harus ke Songkou –satu jam ke pedalaman Meizhou. Telanjur janji ke sana. Rencana awal saya ke Songkou dengan Mimi, cucu Tjong A Fie Medan. Itulah kampung halaman Tjong orang yang terkaya se Asia Tenggara di masa nan lalu.

Mimi di usianyi yang menjelang 70 tahun belum pernah ke Songkou –bahkan belum pernah ke Tiongkok.

Begitu saya ajak berangkat ke Meizhou, Mimi tiba-tiba tidak bisa meninggalkan Medan.

Saya yang merencanakan. Mimi yang memutuskan. (Dahlan Iskan)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *