Merespons Konsep Otoritas Keagamaan PBNU

Otoritas Keagamaan PBNU
Sahiron Syamsuddin
banner 400x400

Oleh: Sahiron Syamsuddin

Hajinews.co.id – K.H. Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, melontarkan ide yang sangat luar biasa, ide yang muncul dari sosok visoner. Ide yang disebutnya dengan ‘otoritas keagaman’, yang dalam Bahasa Arab, sulthah diniyyah atau hukumah diniyyah, dilontarkannya pada acara Expert Meeting di PBNU pada hari Rabu, 27 Maret 2024 M atau bertepatan dengan 17 Ramadan 1445 H.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Secara singkat, beliau menegaskan bahwa NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di dunia ini harus diupayakan memiliki ‘otoritas keagamaan’ yang diakui secara luas, bukan hanya di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat internasional.

Menurut Ahmad Suaedy dan Ginanjar, pemikir dan aktivis PBNU, gagasan ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan bahwa otoritas keagamaan Islam sering sekali dinisbatkan kepada Al-Azhar di Mesir atau lembaga keagamaan di Arab Saudi. Padahal, ulama Indonesia saat ini tidak kalah dalam hal kemampuan ‘berijtihad’ bila dibandingkan dengan ulama dari kedua negara tersebut. Mengapa demikian? Ya karena ulama Indonesia itu, selain menguasai ilmu-ilmu keislaman yang luas, juga pada umumnya memiliki sikap terbuka dalam menerima hal-hal baru yang baik dan maslahat.

Ide tersebut bersinergi dengan gagasan K.H. Yahya sebelumnya, yang disebutnya dengan  fiqh al-hadlarah (fikih peradaban), yakni pemahaman keagaman yang beorientasi pada pembentukan peradaban dunia baru yang lebih maju dan lebih berkemanusiaan dan berkeadilan. Gagasan ini disampaikannya dalam banyak forum, baik di pesantren-pesantren maupun di perguruan-perguran tinggi Islam.

Ketua Umum PBNU ini menaruh harapan besar dari para kyai/nyai dan ilmuan yang tergabung dalam NU, meskipun beliau tidak menafikan kemampuan para ahli agama Islam dari organisasi manapun di Indonesia. Ulama dan kyai/nyai NU biasa telah menguasai ilmu-ilmu inti dalam keislaman, misalnya Ushulul Fiqh, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadis, dan ilmu-ilmu tata Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf dan Balaghah). ‘Pekerjaan rumah’ yang harus dilakukan adalah melengkapi mereka dengan ilmu-ilmu bantu kontemporer, misalnya, pemahaman tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan informasi-informasi baru terkait dengan ilmu-ilmu sosial humaniora dan ilmu kealaman.

Penulis mendukung penuh gagasan Ketua Umum PBNU tersebut. Hal-hal yang sebaiknya segera dilakukan adalah sebagai berikut.

Pertama, penguatan sumber daya manusia (SDM). Dalam hal ini, PBNU bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain mengadakan semacam training atau workshop untuk para kyai/nyai tentang berbagai aspek yang dapat membantu meningkatkan kemampuan ‘ijtihad’ mereka, seperti ilmu-ilmu bantu kontemporer dan perkembangan Weltanschaung (pandang dunia) kekinian, tanpa meninggalkan ilmu-ilmu keislaman klasik yang sudah mereka kuasai.

Kedua, merekonstruksi manhaj (metode) dalam menetapkan pandangan keagamaan dan penetapan hukum. Para kyai/nyai harus berani memikirkan kembali bagaimana mereka berinteraksi atau memahami Al-Qur’an dan Hadis Nabi di masa kontemporer ini. Mereka juga dituntut untuk bersikap yang bijak terhadap padangan-pandangan ulama terdahulu yang tertuang dalam kitab-kitab kuning. Dengan kata lain, mereka diajak untuk mampu mereaktualisasikan dua sumber utama agama Islam itu dan ‘menyegarkan’ atau mungkin juga melakukan pembacaan kritis (critical reading) atas pemikian-pemikiran klasik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *