Akankah PDI-P Jadi Oposisi?

Akankah PDI-P Jadi Oposisi?
Akankah PDI-P Jadi Oposisi?
banner 400x400

Oleh: Hamid Awaludin – Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia

Hajinews.co.id – OPOSISI, dalam rimba politik di Tanah Air hari-hari belakangan ini, menjadi wacana publik yang merebak.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Apa sebenarnya oposisi dan mengapa ia dibutuhkan?

Oposisi adalah sikap politik yang tidak mau ikut berkoalisi atau ikut serta dengan pemerintahan.

Oposisi, karena itu, berfungsi untuk mengontrol jalannya kekuasaan, bukan mengamini kekuasaan. Oposisi akan berteriak, bahkan menghardik bila kekuasaan dijalankan secara semena-mena.

Oposisi, sejatinya dimaksudkan untuk membatasi laju kekuasaan, agar tidak menindih dan sewenang-wenang.

Oposisi dalam negara demokratis, jadi mutlak adanya. Makin demokratis suatu negara, makin berkembang budaya oposisi.

Oposisi sangat dibutuhkan untuk menjaga kualitas demokrasi. Penguasa yang menafikan oposisi, adalah penguasa yang jadi tiran, dan akan melumpuhkan demokrasi, meskipun sang penguasa dipilih melalui proses demokrasi yang adil dan wajar.

Oposisi bisa dalam bentuk oposisi di parlemen (institutionalized opposition), bisa juga oposisi yang berkembang di luar parlemen. Oposisi yang terkahir ini dijalankan oleh masyarakat sipil (civil society).

Legitimasi yuridis dan moral oposisi di Indonesia, tertuang dalam Konstitusi: yakni, Pasal 20A (2) UUD 1945. Di situ dikatakan bahwa anggota DPR memiliki hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.

Hak-hak tersebut bila difungsikan, akan menjadi instrumen efektif untuk mengontrol jalannya kekuasaan. Biar penguasa tidak memerintah sekehendak hati dan semaunya saja.

Memang, penggunaan hak-hak tersebut tidak secara otomatis berarti dijalankan oleh oposisi. Bisa saja penggunaan hak-hak tersebut dari anggota parlemen yang tidak masuk dalam kategori oposisi.

Namun, dengan menggunakan hak-hak tersebut, anggota parlemen sudah menyuarakan perbedaan pandangan dan sikap dengan pengendali kekuasaan.

Khusus oposisi di luar parlemen, ia memperoleh legitimasinya dari seperangkat aturan yang berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik yang dijamin oleh Konstitusi.

Dengan ini semua, tidak boleh kita mengatakan bahwa oposisi bukan budaya Indonesia. Selama kita berbicara tentang demokrasi, selama itu pula harus berbicara mengenai budaya oposisi.

Robert Dahl, ahli ilmu politik, mendalilkan bahwa dimensi terpenting demokrasi adalah partisipasi rakyat dan kontestasi publik. Dahl mengatakan, kontestasi publik itu adalah kultur oposisi. Muara dari ini semua, adalah kontrol terhadap kekuasaan.

Kita membutuhkan oposisi yang terinstitusi (parlemen) karena pemerintah mengelola anggaran negara. Uang tersebut adalah milik rakyat sehingga harus ada kontrol ketat mengenai pengalokasian serta penggunaan anggaran tersebut.

Bila tidak ada oposisi, maka dengan mudah akan terjadi salah kelola oleh pemerintah. Ini menyangkut masalah hukum dan moral.

Kita membutuhkan oposisi yang kuat di parlemen karena pemerintah yang mengambil kebijakan publik, menentukan kondisi hidup rakyat. Malah bisa menentukan hidup matinya rakyat.

Oposisi juga bisa mengontrol sahwat kekuasaan yang melegitimasi dirinya melalui undang-undang.

Nah, oposisi sangat penting dan relevan untuk menghindari pembuatan undang-undang yang tidak membahagiakan rakyat. Undang-undang yang membenarkan segala tindakan penguasa kendati menyengsarakan dan menghimpit rakyat.

Sementara oposisi masyarakat sipil sangat dibutuhkan untuk menjaga dan mengontrol apa saja yang dilakukan oleh penguasa dan wakil rakyat. Fungsi oposisi masyarakat sipil beragenda ganda: mengontrol penguasa dan mengontrol wakil rakyat sekaligus.

Bila tujuan oposisi sangat luhur, lantas mengapa banyak penguasa, dengan pelbagai dalih, termasuk dalih budaya, amat alergi dengan keberadaan oposisi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *