Ultimatum Moral Negarawan Megawati Soekarnoputri

Moral Negarawan Megawati Soekarnoputri
Megawati Soekarnoputri
banner 400x400

Masih meminjam metode Van Dijk (1997), selain dilihat secara tekstual, suatu narasi atau wacana juga penting dicermati bahwa dalam setiap teks selalu ada kognisi sosial yang melingkupinya.

Kognisi sosial merupakan dimensi untuk menjelaskan bagaimana suatu teks diproduksi oleh individu pembuat teks.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Dalam pandangan van Dijk, produksi teks sebagian besar terjadi pada proses mental dalam kognisi sang pembuat teks.

Analisis kognisi sosial memusatkan perhatian pada struktur mental, proses pemaknaan, dan mental sang penulis yang akan membantu memahami fenomena tersebut sebagai bagian dari proses produksi teks.

Hal ini berarti bahwa penulis dianggap sebagai individu yang memiliki bermacam nilai, pengetahuan, pengalaman dan pengaruh ideologi yang didapatkan dalam perjalanan hidupnya.

Dalam artikel opini Megawati tersebut sangat terlihat penggambaran kognisi sosialnya.

Misalnya, Megawati menjelaskan bahwa ia beruntung pernah berdialog langsung dengan para pendiri bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta, K.H.Agus Salim, kemudian dengan Jenderal

Ahmad Yani, para Jenderal Pahlawan Revolusi, Jenderal Polisi Hoegeng, serta dengan orang-orang pinter berhati nurani.

Megawati juga membangun argumen opininya dengan merujuk pada gagasan keadilan yang ia tempatkan secara ideologis, yaitu Pancasila, yang Megawati sebut sebagai falsafah pembebasan yang secara geneologi lahir dari dialog kritis Bung Karno dengan Pak Marhaen.

Dalam argumen etiknya, Megawati juga merujuk pandangan rohaniawan dan filsuf Franz Magnis Suseno yang menyampaikan bahwa ada unsur-unsur yang menunjukan pelanggaran etika serius dalam pelaksanaan pemilu 2024.

Dari argumen itu, Megawati mengingatkan Jokowi bahwa tanggungjawab Presiden terhadap etika sangatlah penting. Presiden memegang kekuasaan atas negara dan pemerintahan yang sangat besar.

Oleh karena itu, sebagai penguasa eksekutif tertinggi, Presiden dituntut dengan standar etika tinggi dan tanggungjawab etikanya agar kewibawaan negara hukum tercipta.

Megawati sesungguhnya mau mengatakan bahwa pengabaian pada etika sama saja artinya sedang meruntuhkan kewibawaan hukum.

Konteks dan ultimatum moral negarawan Megawati

Secara kontekstual, pandangan dan sikap politik Megawati dalam sengketa pilpres 2024 yang tertuang dalam artikel opininya itu menggambarkan konteks dinamika politik saat ini.

Maknanya Megawati semacam memberikan jawaban tegas pada kondisi politik saat ini.

Misalnya, ia mencatat bahwa Pilpres 2024 merupakan puncak evolusi kecurangan hingga ia kategorikan sebagai kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dan di saat yang sama dibingkai dengan praktik nepotisme yang mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden.

Dalam konteks itu, Megawati masih memberikan harapan terakhirnya pada Mahkamah Konstitusi (MK), lebih khusus Megawati sebut kepada “Sembilan dewa” penyelamat konstitusi.

Pada titik ini, mungkin Megawati lupa bahwa kini pengambil putusan di MK tinggal delapan orang hakim, bukan lagi sembilan, karena Anwar Usman sang paman yang divonis MKMK telah melanggar Etika Berat tidak diperkenankan mengadili sengketa pilpres tahun 2024 ini,

Mengapa Megawati masih memberikan harapan pada delapan hakim tersebut?

Sebenarnya dapat dibaca cara berpikir Megawati bahwa itulah cara konstitusional yang paling mungkin dilakukan untuk memutuskan perkara sengketa pilpres.

Karena itu, Megawati kemudian mengatakan bahwa ketukan palu hakim Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan menjadi pertanda antara memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan bagi rakyat dan negara.

Saya kira itu bukan sekadar narasi Amicus Curiae, tetapi ultimatum moral negarawan Megawati Soekarnoputri.

Problemnya bagaimana jika Hakim Mahkamah Konstitusi memilih jalan kegelapan demokrasi? Semoga itu tidak terjadi!

Sumber: kompas

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *