Tajam! Bivitri: Prabowo-Gibran Semacam Periode ke-3 Jokowi, Jika UU Kementerian Direvisi atau Terbit Perppu

banner 400x400

Hajinews.co.id — Pembahasan revisi UU Kementerian Negara di tengah isu kabinet Prabowo-Gibran yang bertambah gemuk menjadi sorotan.

Urgensi pembahasan revisi UU Kementerian yang dilakukan DPR ini pun menjadi sorotan termasuk dari Bivitri Susanti, Pakar Hukum Tata Usaha Negara.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Menurut Bivitri jika UU Kementerian direvisi atau terbit Perppu sekarang, maka pemerintahan Prabowo-Gibran mendatang semacam periode ke-3 Jokowi.

Sorotan terhadap revisi UU Kementerian ini terus mengemuka seiring santernya kabinet Prabowo-Gibran yang disebut bertambah gemuk.

Di medsos ramai beredar daftar nama menteri di kabinet Prabowo-Gibran yang jumlah mencapai 40 orang dan terbaru bahkan ada 61 nama calon menteri dan wamen yang beredar.

Kubu Prabowo-Gibran menyebut hingga saat ini belum ada pernyataan resmi terkait isu gemuknya jumlah menteri.

Diketahui wacana penambahan jumlah menteri tidak dimungkinkan karena terganjal UU Kementerian yang menyebut jumlah menteri terbanyak adalah 34 dengan perincian 30 menteri bidang dan 4 menteri koordinator.

Tak pelak, revisi UU Kementerian pun menjadi sorotan.

Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti mengatakan, amandemen Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tidak mungkin dilakukan pada pemerintahan saat ini karena tidak ada dalam prioritas legislasi tahun 2024.

Meskipun, UU Kementerian Negara masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) 2019.

Tetapi, tidak tertulis akan dilakukan pada 2024.

“Jadi, seharusnya tidak mungkin secepat itu mengubah prioritas (legilasi) tahun ini dulu,” kata Bivitri kepada Kompas.com, Senin (13/5/2024).

Ditambah lagi, menurut dia, banyak politisi yang saat ini lebih memikirkan tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024.

“Secara teori, tidak boleh presiden membuat kebijakan sepenting ini pada masa lame duck (masa transisi) seperti ini,” ujar Bivitri.

Bivitri juga mengatakan, tidak ada kepentingan negara untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mengubah jumlah kementerian.

Apalagi, dikaitkan dengan gagasan menambah jumlah kementerian di era pemerintahan berikutnya yang akan dipimpin Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Dia menyebut, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/2009 juga tidak bisa jadi parameter presiden menerbitkan Perppu tersebut.

Putusan MK itu diketahui menyebut ada tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan memaksa yang menjadi alasan presiden menerbitkan Perppu.

Ketiga hal tersebut adalah adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.

Lalu, belum adanya UU sehingga terjadi kekosongan hukum atau UU tidak memadai.

Kemudian, kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan membuat UU secara prosedur biasa karena memerlukan waktu cukup lama.

Sedangkan keadaan mendesak dan perlu kepastian hukum.

Namun, Bivitri menyinggung bahwa tidak ada yang tidak mungkin.

Terbukti, revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan jelang akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode pertama.

“Ingatkan dulu revisi UU KPK tahun 2019 juga di ujung-ujung (masa pemerintahan) begini, September 2019 dan hanya dalam waktu dua minggu (prosesnya) dan sangat tertutup,” ujarnya.

Oleh karena itu, Bivitri mengatakan, apabila revisi UU Kementerian Negara dilakukan atau Perppu diterbitkan pada periode akhir pemerintahan Jokowi, maka menunjukkan pemerintahan ke depan adalah periode ke-3 Jokowi.

“Kalau perubahan/Perppu (UU Kementerian Negara) dilakukan sekarang juga, benar-benar menunjukkan bahwa Prabowo-Gibran adalah semacam periode ke-3 Jokowi,” kata Bivitri.

 

Baleg: Hanya Sebatas Kebetulan

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas menganggap revisi Undang-undang Kementerian Negara yang dibahas bersamaan dengan keinginan presiden terpilih Prabowo Subianto untuk memperbanyak jumlah kementerian, hanya sebatas kebetulan.

“Kalau soal kebetulan bahwa ada isu yang terkait dengan perubahan nomenklatur dan jumlah kementerian, itu hanya soal kebetulan saja,” kata Supratman ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (14/5/2024).

Politikus Gerindra ini mengeklaim, Baleg sudah lama melakukan inventaris terhadap sejumlah RUU yang terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut Supratman, revisi UU Kementerian Negara dibahas lantaran berkaitan dengan putusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011.

“Dan salah satu yang kami temui itu adalah salah satunya, dua-duanya yang hari ini kita temui menyangkut soal Keimigrasian dan Kementerian Negara,” ujar Supratman seperti dikutip TribunKaltim.co dari kompas.com.

Lantas, mengapa putusan MK tahun 2011 baru ditindaklanjuti oleh DPR sekarang?

Lagi-lagi, Supratman menjawab hal itu sebagai sebuah kebetulan belaka.

“Jadi Undang-undang yang diputuskan oleh MK dan dibatalkan dan yang lain itu banyak sekali.

Sehingga kami diberi daftar, kami menugaskan kepada Badan Keahlian, untuk melihat, mana nih daftar yang sudah dibahas.

Karena yang memeriksa putusan kan bukan sedikit.  Tenaga ahli kami tugaskan untuk melihat. Salah satunya adalah UU Kementerian Negara,” jelas Supratman.

“Ya bisa saja kebetulan, menyangkut soal itu, yang jelas bahwa semua Undang-undang yang hasil putusan MK, Badan Legislasi sesegera mungkin untuk menindaklanjuti, supaya bisa menyesuaikan dengan Mahkamah Konstitusi,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, wacana bertambahnya jumlah kementerian negara, dikabarkan akan terjadi pada pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Prabowo disebut akan menambah jumlah kementerian menjadi lebih dari 34. Dari situ, wacana revisi UU Kementerian Negara pun dimunculkan.

Adapun revisi UU Kementerian Negara masuk dalam Prolegnas jangka menengah.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan bahwa Indonesia memerlukan banyak kementerian karena merupakan sebuah negara yang besar.

Dalam konteks tersebut, dirinya mengakui butuh peran banyak pihak agar program pemerintahan ke depan berjalan baik.

“Dalam konteks negara jumlah yang banyak itu artinya besar, buat saya bagus, negara kita kan negara besar.

Tantangan kita besar, target kita besar,” kata Habiburokhman ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (6/5/2024).

“Wajar kalau kita perlu mengumpulkan banyak orang, berkumpul dalam pemerintahan sehingga jadi besar,” sambungnya.

Sumber

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *