Disway: Vina Doa

Vina Doa
Catatan Dahlan Iskan edisi ini mengulas sosok alm Salim Said dan kasus pembunuhan Vina Cirebon.--/Disway
banner 400x400

Dari pengakuan yang ditangkap delapan orang jadi tersangka –salah satunya berumur 15 tahun. Mereka sudah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup –kecuali yang 15 tahun itu: 8 tahun penjara. Dua bulan lagi “Si 15 tahun” bebas. Sekarang pun sudah di luar penjara, tapi masih wajib lapor.

Tiga tersangka lain belum ditangkap. Masih DPO. Sudah 7 tahun tetap DPO –sudah seperti dilupakan. Sampailah film itu beredar. Heboh. Satu dari tiga itu ditangkap dua hari lalu di Bandung: jadi kuli bangunan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Sisa dua buronan.

Yang 7 orang di penjara mungkin akan dapat remisi menjadi 20 tahun. Lalu akan bebas ketika sudah menjalani 15 tahun –ketika umur mereka sekitar 35 tahun. Masih cukup muda untuk kelak melakukan pernikahan.

“Apa motif pembunuhan?” tanya saya pada Ade.

“Asmara remaja”.

Vina diincar oleh Egi. Bertepuk sebelah tangan.

Bahwa sampai terjadi pembunuhan itu karena ada persaingan lain: beda “gang” motor. Satu “gang M” satunya lagi “gang X”. Vina, saat ditemukan, mengenakan jaket beridentitas salah satunya.

Mungkin saja awalnya “hanya” penganiayaan namun korbannya tewas.

Kini perkara ini jadi ruwet karena salah satu yang dipenjara itu mengaku tidak terlibat sama sekali.

Ia tetap tidak mengaku biar pun sudah dipaksa. Ia juga mengaku tidak pernah mau menandatangani berita acara pemeriksaan, namun merasa aneh ketika di pengadilan tanda tangan itu ada.

Mungkin dari sini bisa dimulai penyelidikan baru; apakah tanda tangan itu palsu. Lalu terjadi salah tangkap. Mudah sekali pembuktiannya di zaman modern ini.

Hukuman seumur hidup untuk 7 remaja itu –sekarang mereka sudah pemuda sekitar 27 tahun– sudah punya kekuatan hukum yang pasti.

“Si 15 tahun” yang merasa salah tangkap itu sudah naik banding tapi ditolak. Kasasinya pun ditolak.

Tapi masih ada mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Titin Prialianti, pengacaranya, harus dilakukan itu. Apa pun hasilnya.

“Jelas perlu ajukan PK,” ujar Karni Ilyas, senior saya lainnya di TEMPO.

Saya hubungi Karni kemarin. Ia adalah wartawan yang menjadi pemicu lahirnya PK. Yakni setelah ia membongkar salah tangkap pada kasus Sengkon dan Karta pada 1997.

Tentu cerita film tidak harus dipercaya. Film adalah fiksi. “Memang fiksi terbaik adalah kalau memasukkan fakta-fakta nyata ke dalamnya. Dari segi itu film ini menjadi fiksi yang berhasil.”

Itu yang mungkin akan dikatakan Prof Salim Said bila mengulasnya.

Terakhir, saya bertemu beliau di Makkah. Sama-sama umroh. Banyak tahun lalu.

Belakangan beliau sangat religius –namanya pun diubah menjadi Salim Haji Said –diambil dari nama almarhum Haji Said, ayahnya, dari Pare-Pare, Sulsel.

Kami pun selalu bersama di Makkah. Saya mengenang masa-masa jadi wartawan magang di TEMPO.

Beliau begitu urakan, khas seniman, bicaranya berapi-api, lucu dan tengil. Rasanya di masa mudanya ia tidak terlalu percaya Tuhan.

Kini tinggal sedikit senior saya para pendiri TEMPO: Gunawan Mohamad masih sehat di usianya yang 84 tahun.

Fikri Jufri sudah selalu di tempat tidur.

Lukman Setiawan sudah lupa siapa saja.

Mungkin masih ada satu wanita ini: Toeti Kakiailatu.

Dan yang masih paling sehat tinggal Pak Haryono Trisnadi, di usia hampir 100 tahunnya.

“Dahlan,” ujar Prof Salim Haji Said di dalam bus di Makkah, “semua teman lama saya, semuuuuaaa, saya doakan satu-persatu di dekat Kabah, kecuali satu”.

Mungkin belakangan ia sudah mendoakannya dalam salatnya menjelang ajalnya. (Dahlan Iskan) 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar