Dongeng Palestina Menghantui Israel

Dongeng Palestina Menghantui Israel
Dongeng Palestina Menghantui Israel
banner 400x400

Lalu pada pukul 16;52, 20 Oktober 2023, penyair, novelis, & pendidik itu mengungkap fakta dengan kata-kata yang dirangkai dengan ketenangan dan keteguhan yang menggetarkan: Di hadapan Tuhan, kami di Gaza adalah martir atau saksi pembebasan dan kami semua menunggu untuk mengetahui di mana kami akan jatuh. Kami semua menunggu, ya, Tuhan, benarlah nazar-Mu.

Hanya beberapa jam setelah itu, pada malam 20 Oktober, Israel mengebom rumah tempat Hiba dan keluarganya tinggal. Mereka semua meninggal.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Sepuluh hari sebelum pemboman itu, pada 10 Oktober, Hiba menuis “Äku Memberimu Perlindungan”, sebuah puisi yang terdiri dari lima bagian yang bagian duanya seperti ini:  Aku memberi perlindungan bagimu dan anak-anak kecil, / anak-anak kecil sekarang tertidur seperti anak ayam di sarang. // Mereka tidak berjalan dalam tidurnya menuju mimpi. / Mereka tahu di luar rumah kematian mengintai.// Air mata ibu mereka kini seperti merpati / mengikuti mereka, mengekor di balik / setiap peti mati.

Hiba bukan satu-satunya sastrawan Palestina yang dibunuh Israel. Sejak awal mula kaum Yahudi berkumpul untuk mencari tempat pelarian dari horor diskriminasi rasial Eropa, menyeruak sudah propaganda seperti “Palestina adalah tanah tanpa rakyat untuk rakyat tanpa tanah” dan “Palestina adalah gurun tandus yang menunggu untuk bersemi”.

Bahkan, sebelum menjadi perdana menteri, ketika masih mnduduki satu kursi menteri, Golda Meir tegas dan berulang-ulang mengatakan bahwa “Palestina itu tidak ada.” Kecuali itu, seperti dikatakan Karlina Supeli, sastra mengajak “orang bertemu dengan kisah tentang manusia, penderitaannya, hidup dan mati, pilihan-pilihan yang tidak selalu tegas.

Dan sastra mengajarkan orang berbicara dengan fasih. Keyakinan para humanis, mereka menyebut ini studia humanitatis, Keyakinannya waktu itu adalah seni bicara , seni bahasa, akan menggerakkan seni pemikiran sehngga (orang) dapat mengemukakan ide-idenya dengan tepat, santun, dan betul.” Oleh karenanya, Israel menjadikan para sastrawan Palestina menjadi target pembunuhan.

Lebih lagi sastrawan Palestina yang bermukim di Palestina dan bukan saja menulis karya sastra, tapi juga menjalankan berbagai kegiatan yang menularkan kemampuan bersastra dan menanamkan nilai-nilai yang diperjuangkan sastra. Sastrawan demikian terus menghantui Israel. Mereka dipandang dapat menghancurkan mesin propaganda Israel, yang sejak merencanakan pendirian negara Israel dengan menduduki Palestina perannya sudah mahabesar.

Maka sastrawan seperti Hiba mesti dibuat menjadi tidak pernah kembali. Begitu pula Refaat Alareer. Selain dosen sastra Inggris Universitas Islam Gaza serta menulis puisi dan esai, Refaat pun seorang inisiator We Are Not Numbers, sebuah forum yang memfasilitasi anak-anak muda Palestina menulis berbagai jenis karya sastra.

Dan kesastraan yang ditularkannya adalah kesastraan yang menumbuhkan individualitas dan sosialitas, yang menyebarkan nilai-nilai universal melalui perayaan lokalitas, yang merawat ingatan dengan menjadikan rumah sebagai sumber cerita. Baginya, “Setiap rumah kita penuh dengan dongeng dan cerita yag mesti diceritakan. Rumah kita mengganggu mesin perang Israel, mengejeknya, menghantuinya, bahkan dalam kegelapan.”

Oleh karena itu, seperti ditulis seorang anak didiknya, Yousef M Aljamal, “Refaat merupakan ancaman terhadap narasi Israel dan itulah sebabnya intelijen Israel meneleponnya dan mengatakan kepadanya bahwa mereka akan menangkapnya dan mereka tahu dia berlindung di sebuah sekolah. Refaat memilih untuk meninggalkan sekolah dan menuju ke rumah saudara perempuannya di mana dia terbunuh oleh serangan udara Israel pada pukul 18.00, 6 Desember 2023.”

Pada 2011, salah satu yang ditulisnya dalah puisi bertajuk “Jika Aku Mati”. Pada November tahun lalu, puisi tersebut diunggah di akun X-nya. Puisi berbau nubuat ini dipungkas dengan tiga baris: Jika aku harus mati / biarlah membawa harapan / biarlah menjadi dongeng.

Perkara dongeng, Refaat menyinggungnya antara lain dalam pengantarnya di Gaza Writes Back, antologi cerita pendek tentang Gaza karya para mahasiswanya yang disuntingnya. Ia mengutip Chinua Achebe yang menulis, “pendongeng adalah sebuah ancaman. Mereka mengancam semua pihak yang memegang kendali. Mereka menakut-nakuti para perampas hak atas kebebasan jiwa manusia.”***

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *