Di Balik Kabinet Gendut

Di Balik Kabinet Gendut
banner 400x400

Oposisi Rakyat telah semakin menguat pasca-pilpres 2024. Kekuatan baru itu tidak akan melemah sekalipun Jokowi lengser pada Oktober 2024. Di mata Oposisi Rakyat penyebab sesungguhnya kemunduran demokrasi Indonesia adalah oligarki. Kelompok kecil dan elitis ini masih bercokol di dalam dan di luar partai politik yang sekarang menguasai parlemen.

Terbentuk dan menguatnya Oposisi Rakyat membuktikan bahwa kestabilan politik tidak ada di DPR. DPR saat ini adalah perwakilan partai politik yang tidak mewakili aspirasi rakyat. Setelah Jokowi lengser perhatian Oposisi Rakyat akan tertuju kepada DPR dan Kabinet. Isu utamanya adalah apa yang mereka lakukan untuk mengikis nepotisme dan menghentikan kemunduran demokrasi. Persoalan ini akan berkaitan dengan legacy Jokowi, apakah akan diteruskan atau dihancurkan?

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Dengan kata lain, sumber ketakstabilan politik itu berada di luar, bukan di dalam, DPR. Pada akhirnya nanti Oposisi Rakyat akan berhadapan dengan DPR dan Kabinet.

Narasi Tidak Ada Oposisi

Narasi sistem presidensial tidak mengenal oposisi sudah muncul dalam 1 dekade terakhir. Narasi ini menggema untuk tujuan memperkuat posisi presiden dalam mengelola negara. Dalam Kabinet Jokowi I dan II narasi tersebut berhasil membungkam mekanisme kontrol dan pengawasan DPR. Kebijakan presiden, termasuk usulan undang-undang, meluncur bebas hampir tanpa pembahasan. Bahkan ketika Presiden menjadikan anaknya sebagai cawapres, DPR tidak bereaksi sama sekali.

Pada periode kedua Jokowi praktis undang-undang disahkan tanpa pembahasan seksama, misalnya UU Cipta Kerja, UU Kesehatan, UU Pemberantasan Korupsi, dlsb. Kegagalan DPR menjalankan fungsi pengawasan merusak mekanisme check and balance di pemerintahan. Eksekutif yang tidak lagi mendapat kontrol memadai dari legislatif menjadi sewenang-wenang, seakan bebas mempraktekkan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Narasi “pemerintahan tanpa oposisi” menjadi justifikasi bagi kabinet gendut. Prabowo merasa ia harus mengakomodasi semua kelompok politik karena tidak boleh lagi beroposisi kepada dirinya. Prabowo seharusnya mengerti bahwa tatanan politik “tanpa oposisi” yang dibangun Jokowi justru telah melukai bangunan sistem demokrasi secara sukup parah. Demokrasi Indonesia, dengan sendirinya, mengalami kemerosotan yang semakin dalam.

Narasi Melanjutkan Warisan Jokowi

Maka menjadi persoalan ketika Prabowo mengatakan bahwa ia akan melanjutkan warisan Jokowi. Warisan yang mana? Apakah Prabowo akan melanjutkan projek-projek infrastrukutr Jokowi, membangun IKN, atau melanjutkan tatanan politik yang dibangun oleh pemerintahan Jokowi?

Kalau Prabowo ingin melanjutkan projek-projek Jokowi, hal itu masih bisa didiskusikan. Namun kalau Prabowo bermaksud melanjutkan tatanan politik bikinan Jokowi, maka tidak ada diskusi lagi, secara kategoris keinginan Prabowo itu harus ditolak.

Secara ringkas, tatanan politik yang dibangun oleh Jokowi dapat disebut sebagai Tatanan Oligarki. Tatanan itu menghendaki eksekutif yang kuat, legislatif yang lemah dan judikatif yang patuh. Tatanan Oligarki melahirkan Pemerintahan Oligarki, yaitu pemerintahan yang kekuasaan politik dan ekonominya secara efektif dikendalikan oleh sekelompok kecil elit di masyarakat yang bisa dibedakan menurut kekayaan, keluarga atau jabatan militer.

Kata Jeffrey Winters, tujuan oligarki adalah mempertahankan kekayaan. Untuk itu mereka bermaksud melindungi pasar dan sumberdaya alam. Mereka senang kalau legislatif lemah karena mudah diperintah membuat atau membatalkan undang-undang. Perlindungan terkuat bagi oligarki adalah undang-undang. Dengan undang-undang mereka bisa memanfaatkan aparat hukum. Oligarki ini masih utuh setelah lengsernya Jokowi. Apakah melanjutkan warisan Jokowi berarti tetap menjadikan oligarki sebagai panutan?

Apakah tatanan oligarki ini yang akan dilanjutkan oleh Prabowo?

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *