Mabrur tak Sampai

Mabrur tak Sampai
Ibadah haji
banner 400x400

Dengan berlaku ria, pahala ibadah haji yang berlipat ganda bisa tergerus. Beribadah di Masjidil Haram pahalanya 100 ribu kali kelipatan. Di Masjid Nabawi Madinah pahalanya 1.000 kali kelipatan.

Haji ialah ibadah istimewa. Menunaikan ibadah haji menunjukkan paripurnanya seorang muslim karena haji ialah rukun Islam terakhir setelah syahadat, salat, zakat, dan puasa. Hanya saja, ibadah haji hanya diwajibkan kepada orang yang mampu (istitha’ah).

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Ibadah haji berbeda dengan ibadah wajib lainnya karena haji menyatukan ibadah badaniah (fisik), rohaniah (roh/jiwa), dan maliyah (harta). Keistimewaan lain ibadah haji ialah panggilan ibadah haji berada di atas panggilan jihad. Sang Khalik mengganjar orang yang beribadah haji dengan surga, dengan catatan menjadi haji mabrur.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti mabrur adalah ibadah haji yang sempurna syarat dan rukunnya sehingga ibadahnya diterima Allah SWT.

Namun, kewajiban beragama tidak selesai dengan prosedural. Jauh lebih penting lagi pengamalan pada nilai-nilai keagamaan. Kebiasaan ria yang juga disebut syirik asghar (kecil) dalam ibadah menunjukkan nihilnya keikhlasan karena mengharapkan pujian manusia.

Padahal, hidup dan mati manusia hanya karena Sang Khalik, inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil alamin.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sikap ria sangat berbahaya. Kebaikan yang diberikan kepada orang banyak sekadar pencitraan untuk mendongkrak elektabilitas politik.

Indonesia berlimpah hujjaj (para haji). Sejatinya mereka sudah menjalani kawah candradimuka dengan prosesi rukun haji yang panjang nan melelahkan dengan puncak haji di Arafah. Sayangnya, banyaknya haji belum menjadi modal sosial untuk membangun khairu ummah (umat yang baik) dan bangsa yang baik.

Haji, kata almarhum Cak Nur, sapaan cendekiawan Nurcholish Madjid, berdimensi vertikal (hablum minallah) dan horizontal (hablum minannas). Al hajju ‘arafah (haji adalah Arafah) memiliki nilai-nilai kemanusiaan universal. “Puncak dari keagamaan adalah perikemanusiaan,” katanya (Madjid 2002a:135-136). Tabik!

Sumber: mediaindonesia

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *