Disway: Tanri Abeng

Tanri Abeng
Tanri Abeng dalam sebuah forum diskusi bersama Menteri BUMN Erick Thohir dan Dahlan Iskan.--
banner 400x400

Dengan gelar MBA Pak Tanri direkrut oleh perusahaan Amerika di Indonesia: Union Carbide. Itu perusahaan kimia berskala global. Karirnya terus menanjak di situ.

Di dunia profesional itu Pak Tanri membuat sejarah: ia-lah orang pertama yang mendapat gelar ‘Manajer Rp 1 miliar’. Baru di sosok Pak Tanri ada seorang manajer bergaji Rp 1 miliar setahun. Saat itu nilai Rp 1 miliar serasa seperti Rp 100 miliar hari ini.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Banyak yang menyangka itu karena gelar Pak Tanri bukan Drs, SH atau Ir. Gelar Pak Tanri adalah MBA. Agak langka saat itu. Maka gelar MBA terasa menjadi seperti di atas S-1. Anak muda pun seperti berlomba mengejar gelar MBA. Pun bagi yang sudah bergelar S-1. Kini Anda merasakan gelar MBA tidak lagi punya keistimewaan seperti di zaman Pak Tanri.

Yang menghebohkan adalah ketika Pak Tanri menerima tawaran menjadi CEO perusahaan bir: Bir Bintang. Padahal latar belakang pribadinya sangat Islam: aktifis PII dan kemudian juga HMI.

Yang jelas Pak Tanri kemudian identik dengan manajer profesional yang hebat. Ilmu manajemen seperti tiba-tiba menjadi sangat penting. Para insinyur ITB dan IPB pun mengejar karir di manajerial.

Pun sampai Presiden Suharto: mengagumi Pak Tanri. Pak Harto memanggilnya. Diajak diskusi mengenai pengelolaan perusahaan negara.

Saat itulah Pak Tanri mengajukan ide pembentukan kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Lalu Pak Tanri menjadi menteri BUMN yang pertama.

Sebelum itu perusahaan negara berada di bawah kementerian teknis masing-masing. Perbankan di bawah menteri keuangan. Industri di bawah menteri perindustrian. Sebangsa Panca Niaga di bawah menteri perdagangan. PLN di bawah menteri PU. Dan seterusnya.

Sejak zaman Pak Tanri itulah kekuasaan para menteri atas perusahaan negara dicabut. Semua dialihkan ke kementerian BUMN.

Pak Tanri, dengan demikian, adalah ‘Bapak BUMN’. Jabatan menteri BUMN tetap di tangannya saat presiden berganti ke Prof BJ Habibie. Lalu pindah ke Laksamana Sukardi di zaman Gus Dur. Hanya sekedipan mata. Pak Laks diganti oleh orang NU –saya lupa namanya.

Di zaman Bu Megawati jadi presiden, Pak Laks kembali diangkat menjadi menteri BUMN.

Setelah tidak jadi menteri Pak Tanri tetap laris: diminta jadi CEO Grup Bakrie. Lalu jadi Komut Pertamina. Jadi CEO di kelompok usaha OSO. Bahkan saat meninggal pun masih menjadi komisaris di salah satu BUMN.

‘Dendam’-nya untuk terjun ke dunia pendidikan dituntaskan di tahun 2011. Saat usianya 70 tahun. Pak Tanri menjual sahamnya di hotel Aryaduta Makassar. Hasilnya: untuk membangun Tanri Abeng University di  Jakarta. Ia yang jadi rektornya, sampai meninggal dunia.

Pak Tanri memang bertekad harus ia yang langsung  memimpin universitas itu. Misinya: agar lulusannya bisa menjadi manajer yang hebat. Atau jadi pengusaha. Atau menjadi seorang pemimpin.

Di universitas itulah Pak Tanri kehilangan isterinya: Farida Nasution. Farida meninggal di tahun 2016 dengan dua anak: Emil Abeng dan Edwin Abeng. Dari mereka lahir 4 cucu.

Di universitas itu pula Pak Tanri menemukan pengganti Farida. Dia seorang dosen komunikasi: Kartika Harijono. Dipanggil Chika. Janda satu anak. Pak Tanri dan Chika menikah tanggal 4 bulan 5 tahun 2019.

Saya tidak bisa melayat kemarin. Saya minta tolong Mas Irwan Setiawan untuk mengucapkan duka. Mas Irwan adalah pimpinan Jawa Pos di  Jakarta pada masanya. Kini ia menjadi dosen komunikasi di Tanri Abeng University.

Tentu pada dasarnya Pak Tanri tidak memerlukan gelar apa pun selain MBA. Tapi pada akhirnya beliau kuliah S-3 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sampai bergelar doktor. Itu semata-mata karena peraturan:  untuk bisa jadi rektor harus bergelar doktor.

Pak Tanri adalah contoh “sekali hidup banyak berbuat”. Juga “banyak membuat sejarah”. (Dahlan Iskan)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *