Hikmah Malam : Obat Penawar Penyakit Hati Kronis Sesuai Syariah

Obat Penawar Penyakit Hati
Penyakit Hati

“Mengapa mereka tidak bertanya jika mereka belum mengetahui, karena sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya.”

Dari apa yang disebutkan Allah pada ayat-ayat di atas berupa penyakit hati dan obatnya sama kedudukannya dengan apa yang disebutkan-Nya berupa kematian, kehidupan, pendengaran, penglihatan, pemahaman, kebutaan, ketulian dan kebisuannya.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Kemudian maksud bertanya pada hadis Rasulullah di atas adalah bertanya untuk mengetahui tentang penyakit hati. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, bahwa penyakit tersebut ada dua macam: Pertama, rusaknya rasa. Kedua, rusaknya gerak yang bersifat alami serta yang berhubungan dengannya berupa keinginan.

Kehilangan salah satu atau keduanya akan mengakibatkan timbulnya penyakit dan penderitaan. Apabila keduanya sehat maka akan menimbulkan kegembiraan dan kesenangan. Oleh sebab itu nikmat -secara umum- yang diterima oleh manusia merupakan pemberian dari Allah yang pada akhirmya akan dipertanyakan oleh Allah. Seperti dalam firman Allah :

ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS. At-Takatsur: 8).

Ayat ini, yaitu ditanya tentang apakah manusia itu bersyukur atau tidak. Maka dari itu, penyebab dari rasa gembira adalah karena adanya sesuatu yang menyenangkan, sedangkan penyebab dari penderitaan itu adalah karena merasakan sesuatu yang kontradiksi. Kegembiraan dan penderitaan bukanlah rasa atau sesuatu yang dapat dicapai tetapi keduanya merupakan hasil dan akibat serta tujuan. Kegembiraan dan penderitaan bukanlah rasa atau sesuatu yang dapat dicapai tetapi keduanya merupakan hasil dan akibat serta tujuan.

Kegembiraan dan penderitaan yang dialami oleh hati jauh lebih besar pengaruhnya dari kegembiraan dan penderitaan yang dirasakan oleh tubuh. Maksudnya adalah penderitaan dan kegembiraan secara psikologis jauh lebih berpengaruh dibandingkan penderitaan yang dirasakan oleh fisik. Karena terkadang penyakit hati dapat berupa syubhat dan keragu-raguan,: “Sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (QS. Al-Ahzab: 32)

Sebagaimana ditulis oleh Al-Kharaaithi dalam Kitab I’tilal AI-Quluub bi Al-Ahwaa’ bahwa di dalam hati orang-orang munafik terdapat penyakit dalam bentuk ini, yaitu rusaknya keyakinan đan kemauan. Sedangkan orang yang terzalimi, di dalam hatinya terdapat penyakit yang timbul disebabkan kezaliman orang lain terhadap dirinya, jika haknya terpenuhi maka sembuh pulalah hatinya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

قَٰتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ ٱللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُّؤْمِنِينَ (14) وَيُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوبِهِمْ ۗ وَيَتُوبُ ٱللَّهُ عَلَىٰ مَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman (14)..Dan menghilangkan panas hati orang-orang mukmin. Dan Allah menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya. Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS at-Taubah 14-15)

Kondisi yang sama jika seseorang tidak dapat mendengarkan dan berbicara, dan hal itu adalah penyakit yang sangat menyengsarakannya karena dia kehilangan kenikmatan dan justeru mendapatkan mudharat. Maka demikian pula ketika hatinya tak dapat mendengar dan melihat mana yang hak dan mana yang batil, yang demikian itu adalah penyakit yang jauh lebih berbahaya.

Sebagaimana pula jika orang buta dapat melihat dan merasakan kedamaian ketenangan dan kebahagian merupakan hal yang sangat agung, maka pandangan hati dan penglihatannya terhadap hakikat kebenaran , sangat jauh perbedaannya dengan penglihatan mata kepala yang tidak ada yang dapat mengetahuinya kecuali Allah.

فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا۟ لَكَ فَٱعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَآءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ ٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Qashash: 50)

Dan firman-Nya,

بَلِ ٱتَّبَعَ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوٓا۟ أَهْوَآءَهُم بِغَيْرِ عِلْمٍ ۖ فَمَن يَهْدِى مَنْ أَضَلَّ ٱللَّهُ ۖ وَمَا لَهُم مِّن نَّٰصِرِينَ

“Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun.” QS. Ar-Ruum: 29)

Sebagaimana jasmani tidak akan berjalan dengan normal jika ia tidak memenuhi tuntutanku, dan akan mengakibatkan lemahnya kemampuan hati hingga ia tidak mampu untuk mengetahui serta menghendaki apa yang dapat membantu dan mendatangkan maslahal baginya. Demikan pula anak cucu Adam, mereka bodoh dan menzalimi diri mereka sendiri. Sesorang di antara mereka ingin segera mendapatkan apa yang menyenangkan dan memberi kelezatan kepada nafsunya, lalu meninggalkan hal yang dibenci nafsunya yang tidak cocok baginya. Sehingga mengakibatkan penyakit dan penderitaan di dunia atau di akhirat dengan azab yang lebih pedih dan kebinasaan. Naudzubillah.

Karena itu, alangkah bahagianya, orang-orang yang selalu memberikan santapan kepada jiwanya, menyuntikkan nutrisi pada hatinya dengan petunjuk-petunjuk syar’i, sehingga terbentuklah pribadi yang bertakwa, luhur dan mulia.

Wallahu A’lam

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *