Ini 5 Tanda Gawat Ekonomi RI Tidak Baik-Baik Saja

Hajinews.co.id — Kondisi ekonomi RI menunjukkan sedang tidak baik-baik saja. Hal ini dibuktikan dari beberapa data ekonomi RI yang justru melemah di sepanjang semester I 2024 mulai dari meningkatnya pengangguran hingga turunnya aktivitas manufaktur dan pertumbuhan ekonomi RI yang lebih rendah. Kini masyarakat RI harus bersiap dengan kondisi ekonomi yang tidak menentu.

1. Ekonomi RI Melandai

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2024 mencapai 5,05% secara tahunan. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan kuartal I-2024, sebesar 5,11%.

Sebagai catatan, ekonomi Indonesia tumbuh 5,11 (yoy) pada kuartal I-2024 dan terkontraksi 0,83% (qtq).
Pertumbuhan yang lebih rendah salah satunya dipicu oleh melemahnya konsumsi masyarakat. Konsumsi hanya tumbuh 4,93% (yoy) pada kuartal II-2024, jauh lebih rendah dibandingkan 5,22% (yoy) setahun lalu atau pada kuartal II-2023.

Konsumsi terutama melandai untuk pakaian dan alas kaki. Namun, konsumsi restoran dan hotel lebih tinggi karena dibantu Idul Fitri, Idul Adha, dan libur panjang.

2. PMI Manufaktur Kontraksi

Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia tercatat mengalami kontraksi pada Juli 2024 yang menjadi koreksi pertama sejak 2021 atau tiga tahun terakhir.

S&P Global pada Kamis (1/8/2024) telah merilis data PMI Manufaktur Indonesia, yang menunjukkan jatuh dan terkontraksi ke 49,3 pada Juli 2024. PMI Manufaktur Indonesia terus memburuk dan turun selama empat bulan terakhir yakni sejak April-Juli 2024. Artinya, pada kuartal II-2024 terus terjadi penurunan PMI Manufaktur Indonesia secara terus menerus di mana salah satunya disebabkan oleh melemahnya permintaan dari domestik.

Ambruknya manufaktur Indonesia memicu kekhawatiran karena dipicu melemahnya permintaan dalam negeri dan ekspor.

3. Deflasi 3 Bulan Beruntun

Terjadinya deflasi dalam tiga bulan beruntun juga bisa mengindikasikan adanya pelemahan daya beli. BPS mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) sudah mengalami penurunan atau deflasi (month to month/mtm) sepanjang Mei-Juli 2024. Kondisi ini sangat langka terjadi karena deflasi selama tiga bulan beruntun hanya terjadi dua kali dalam 38 tahun terakhir yakni pada 1999 dan 2020.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan inflasi tahunan Indonesia pada Juli 2024 tercatat sebesar 2,13% (yoy).

Tingkat inflasi tahunan pada Juli 2024 adalah sebesar 2,13% atau terjadi peningkatan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 103,88 pada Juli 2023 menjadi 106,09 pada Juli 2024.

Harga pangan memang melandai tetapi harga saat ini sudah jauh di atas dua tahun lalu. artinya, masyarakat harus mengeluarkan uang lebih banya untuk membeli barang dengan volume yang sama.

Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN )atas data bulanan menunjukkan harga beras dalam dua tahun terakhir atau pada periode Agustus 2022-Juli 2024 sudah melesat Rp 3.600 atau 28% per kg pada Juli 2024, harga minyak goreng sudah melesat Rp 1.300 atau 9,12% dan harga gula pasir menanjak Rp 3.200 per kg atau 20,4%.

Harga beras bahkan terus mencetak rekor demi rekor dan sempat menembus Rp 18.000/kg di beberapa wilayah pada Februari 2024.

4. Jumlah PHK Melesat

Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) masih terus berlanjut di dalam negeri. Hal ini pun dapat mencerminkan melemahnya ekonomi Indonesia yang tercermin dari ketidakmampuan perusahaan dalam mempertahankan karyawan mereka.

Berdasarkan data kementerian ketenagakerjaan (kemnaker), pada periode Januari-Juni 2024 terdapat 32.064 orang tenaga kerja yang terkena PHK. Angka tersebut naik 21,4% dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 26.400 orang.

Dari total 32.064 tenaga kerja yang ter-PHK di seluruh Indonesia, di mana Provinsi DKI Jakarta memimpin dengan jumlah tenaga kerja ter-PHK paling tinggi sebesar 7.469 tenaga kerja.

Jumlah pekerja di PHK di Jakarta melonjak 994% atau hampir 1.000% atau dibandingkan Januari-Juni 2023 yang hanya tercatat 683 orang.

5. Penerimaan Pajak Menurun

Hingga 30 Juni 2024 atau semester I-2024, penerimaan pajak hanya sebesar Rp893,8 triliun. Jumlah tersebut turun 7,9% dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp970,2 triliun. Penerimaan pajak hanya 44,9% dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.

Sri Mulyani penerimaan pajak turun karena harga-harga komoditas yang anjlok atau mengalami normalisasi, sehingga setoran pajak penghasilan atau Pajak Penghasilan (PPh) badan ikut merosot. Di antaranya adalah harga minyak mentah sawit (Crude Palm Oil/CPO) dan batu bara.

“Dari sisi pajak Rp893,8 triliun terutama kalau kita lihat levelnya sebetulnya cukup comparable ini disamping penerimaan yang berasal dari komoditas base mengalami penurunan yang sangat tajam seperti yang kami sampaikan dari harga CPO, batu bara, dan beberapa harga komoditas lainnya,” ucap Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR di Jakarta, Senin (8/7/2024).

Kementerian Keuangan memproyeksi bahwa penerimaan pajak tahun ini kembali mengalami shortfall atau lebih rendah dibandingkan target yang sudah ditetapkan dengan perkiraan 96,6% terhadap APBN atau sebesar Rp1.921,9 triliun. Terdiri dari realisasi semester I-2024 sebesar Rp 893,8 triliun dan prognosa semester II-2024 Rp1.028,1 triliun.

Sumber: cnbc

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *