Hikmah Pagi: Sesungguhnya Manusia Tidak Mampu Bersyukur Sepenuhnya Kepada Allah Dengan Sempurna

Manusia Tidak Mampu Bersyukur Sepenuhnya Kepada Allah
bersyukur

Hajinews.co.idProf. Dr. Quraish Shihab mengatakan, pada kenyataannya manusia tidak bisa bersyukur sepenuhnya kepada Allah , baik dalam bentuk pujian apalagi dalam bentuk perbuatan. 

“Oleh karena itu ditemukan dua ayat dalam Al-Quran yang menunjukkan betapa orang-orang yang dekat kepada-Nya sekalipun, tetap bermohon agar dibimbing, diilhami dan diberi kemampuan untuk dapat mensyukuri nikmat-Nya,” tulis Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat” (Mizan, 2007).

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Allah SWT berfirman: Dia berdoa, “Wahai Tuhanku, berilah aku ilham untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai…” ( QS An-Naml[27] : 19).

Ia berdoa, “Wahai Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu-bapakku, dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang engkau ridhai” ( QS Al-Ahqaf [46] : 15).

Nabi Muhammad SAW juga berdoa dan mengajarkan doa itu untuk dipanjatkan oleh umatnya, “Wahai Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur untuk-Mu, dan beribadah dengan baik bagi-Mu.”

Menurut Quraish, permohonan tersebut sangat diperlukan, paling tidak disebabkan oleh dua hal:

Pertama, manusia tidak mampu mengetahui bagaimana cara yang sebaik-baiknya untuk memuji Allah, dan karena itu pula Allah mewahyukan kepada manusia pilihan-Nya kalimat yang sewajarnya mereka ucapkan.

Tidak kurang dari lima kali ditemukan dalam Al-Quran perintah Allah yang berbunyi. Wa qul’ “Alhamdulillah” (Katakanlah, “Alhamdulillah”).

Mengapa manusia tidak mampu untuk memuji-Nya? Quraish mengatakan ini disebabkan karena pujian yang benar menuntut pengetahuan yang benar pula tentang siapa yang dipuji.

Akan tetapi karena pengetahuan manusia tidak mungkin menjangkau hakikat Allah SWT, maka tidak mungkin pula ia akan mampu memuja dan memuji-Nya dengan benar sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.

“Mahasuci Engkau, Kami tidak mampu melukiskan pujian untuk-Mu, karena itu (pujian) kami sebagaimana pujian-Mu terhadap diri-Mu.”

Atas dasar ini, maka seringkali pujian yang dipersembahkan kepada Allah, didahului oleh kata “Subhana” atau yang seakar dengan kata itu. Perhatikanlah firman-Nya dalam surat Asy-Syura ayat 5: “Para malaikat bertasbih sambil memuji Tuhan mereka.”

Atau dalam surat Ar-Ra’d (13) : 13: “Guntur bertasbih sambil memuji-Nya.”

Bahkan manusia pun di dalam salat mendahulukan “tasbih” (pensucian Tuhan dari segala kekurangan) atas “hamd” (pujian), karena khawatir jangan sampai pujian yang diucapkan itu tak sesuai dengan keagungan-Nya. “Subhana Rabbiyal ‘Azhim wa bi hamdihi” ketika rukuk, dan “Subhana Rabbiyal ‘Ala wa bi hamdihi” ketika sujud.

Alasan kedua mengapa kita memohon petunjuk-Nya untuk bersyukur adalah karena setan selalu menggoda manusia yang targetnya antara lain adalah mengalihkan mereka dari bersyukur kepada Allah.

Surat Al-A’raf ayat 17 menguraikan sumpah setan di hadapan Allah untuk menggoda dan merayu manusia dari arah depan, belakang, kiri, dan kanan mereka sehingga akhirnya seperti ucap setan yang diabadikan Al-Quran “Engkau -(Wahai Allah)- tidak menemukan kebanyakan mereka bersyukur”.

Sedikitnya makhluk Allah yang pandai bersyukur ditegaskan berkali-kali oleh Al-Quran, secara langsung oleh Allah sendiri seperti firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tida1k bersyukur” ( QS Al-Baqarah [2] : 243).

Dalam ayat lain disebutkan: “Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur” ( QS Saba’ [34] : 13) .

Hakikat yang sama diakui pula oleh hamba-hamba pilihan-Nya seperti yang diabadikan Al-Quran dari ucapan Nabi Yusuf as,

Kebanyakan manusia tidak bersyukur“. ( QS Yusuf [12 ]: 38).

Menurut Quraish, hakikat di atas tercermin juga dari penggunaan kata syukur sebagai sifat dari hamba Allah. Hanya dua orang dari mereka yang disebut oleh Al-Quran sebagai hamba Allah yang telah membudaya dalam dirinya sifat syukur, yaitu Nabi Nuh as yang dinyatakan-Nya sebagai “Innahu kanna ‘abdan syakura” (Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur) ( QS Al-Isra’ [17] : 3), dan Nabi Ibrahim as dengan firman-Nya, “Syakiran li an’umihi” (yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah) (QS An-Nahl [16): 12l).

Al-Quran menggarisbawahi bahwa biasanya kebanyakan manusia hanya berjanji untuk bersyukur saat mereka menghadapi kesulitan. Al-Quran menjelaskan sikap sementara orang yang menghadapi gelombang yang dahsyat di laut:

Maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengihlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata), “Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bencana ini, maka pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur” ( QS Yunus : 22).

Demikian juga dalam surat Al-An’am (6) ayat 63:Katakanlah, “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah dri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan): Sesungguhnya, jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi bagian orang-orang yang bersyukur (QS Al-An’am [6]: 63).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *