Jilbab Bukan Warisan Kolonial

Jilbab Bukan Warisan Kolonial

Oleh: SudrajatPenulis adalah jurnalis senior

Hajinews.co.id – Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Yudian Wahyudi menjadi sorotan publik setelah menerbitkan aturan Paskibraka putri di tingkat nasional tak boleh berjilbab saat pengukuhan dan upacara kenegaraan 17 Agustus. Dampaknya menurut Pengurus Pusat Purna Paskibraka Indonesia ada 18 dari 76 anggota Paskibraka 2024 yang mengenakan hijab, namun tak menggunakannya saat dikukuhkan Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara, IKN, Selasa (13/8/2024).

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Aturan yang dibuat Yudian tersebut saya melihatnya dalam skala lebih luas mirip dengan yang dibuat Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Prof Dardji Darmodihardjo pada 17 Maret 1982. Kala itu aturan dimaksud berisi tentang standardisasi penggunaan seragam sekolah secara nasional. Dampaknya, sejumlah murid di berbagai kota yang berjilbab harus melepas atau pindah ke sekolah swasta dan madrasah.

Tak semua pelajar menyerah menghadapi tekanan sekolah. Ranti Aryani dan beberapa temannya yang sekolah di SMA 1 Bogor, misalnya. Ia bersama dua kawannya senasib, Hepti dan Sari, melawan keputusan sekolah yang mengeluarkannya dari sekolah karena berjilbab.

Dosen IPB yang juga politisi PPP AM Saefudin sebagai orang tua salah satu siswa bersama LBH menggugat sekolah ke pengadilan. Wali kota Bogor hingga MUI kemudian turun tangan. Pihak sekolah akhirnya bersedia berdamai dan mengakomodasi keinginan Ranti dan teman-temannya melalui musyawarah. Gugatan pun dicabut.

Tiga dekade kemudian Ranti menuangkan sepenggal pengalamannya itu dalam biografi, “In God We Trust, Ranti Aryani Merentang Jilbab dari Indonesia sampai Amerika” Dokter gigi itu sejak bertahun lalu membuka klinik di Amerika Serikat. “Saya mengenakan jilbab sejak usia 14 tahun (SMP). Its a way of life saya sebagai muslim,” kata Ranti kepada penulis di kawasan Bintaro, pertengahan Agustus 2013. Kala itu dia bersama suaminya, Richard J Bennett Jr, pulang ke Indonesia untuk mempromosikan bukunya tersebut.

Sementara mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Daoed Joesoef yang merupakan atasan Prof Dardji menerbitkan buku “Anak Tiga Zaman” pada Oktober 2017. Daoed tak secara khusus menyinggung soal jilbab. Dia cuma menjelaskan latar kebijakan soal seragam sekolah agar. Seragam dimaksudkan agar tak terjadi jor-joran para orang tua maupun pihak sekolah dalam mendandani anak-anak mereka dengan dalih “identitas sekolah”. Dia menerapkan kebijakan corak seragam sekolah berbeda tidak menurut sekolah, tapi menurut jenjang pendidikan.

“Seragam sekolah bagi jenjang pendidikan dapat menjadi alat kontrol pemerintah terhadap orang tua yang lalai menyekolahkan anaknya, atau membiarkan anak-anaknya berkeliaran di jam sekolah,” tulis Daoed di buku itu.

Banyak pihak, khusus kalangan ulama menuding lelaki berdarah Aceh yang meraih doktor ilmu ekonomi dan politik dari Universitas Sorbonne, Prancis itu sekular. Bahkan ada yang lebih ekstrem mencap Daoed sebagai antiislam. Di ruang publik, Daoed pun tak pernah mengucap salam sebagaimana lazimnya kaum muslim, “Assalamu’alaikum…” tapi menggunakan Selamat Pagi, Siang, Sore, atau Malam.

Hal itu dilakukan justru bukan karena tak paham Islam tapi sebagai ekspresi empati dan toleransi terhadap sesama warga Indonesia yang tak semuanya muslim. “Dia doktor didikan Perancis (Sorbonne) yang sangat kagum pada sekularisme yang dipraktikkan negara tempatnya belajar,” tulis Salim Said dalam buku “Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto”.

Sekularisme di Perancis soal jilbab, ia melanjutkan, berbeda dengan sekularisme ala Amerika yang lebih toleran. “Sekularisme Prancis berpangkal pada Revolusi Prancis yang memusuhi agama”.

Bagaimana dengan Yudian? Beberapa hari setelah memimpin BPIP pada 5 Februari 2020, dia menuai kontroversi lewat pernyataan bahwa “Musuh utama Pancasila adalah Agama”. Pada Agustus 2021, BPIP di bawah kepemimpinan Yudian juga sempat mengadakan lomba penulisan artikel dengan mengangkat dua tema yakni ‘Hormat Bendera Menurut Hukum Islam’ dan ‘Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam’

Yudian meraih doktor dari McGill University, Kanada. Lalu, melanjutkan pendidikan lagi di Harvard Law School di Amerika Serikat pada 2002-2004. Dia aktif menulis artikel ilmiah dan buku. Beberapa karyanya antara lain ‘Aliran dan Teori Filsafat Islam’ (1995), ‘Hassan Hanafion Salafism and Secularism’ (2006), dan ‘Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga’ (2014). Yudian juga menerjemahkan 40 buku bahasa Arab, 13 bahasa Inggris, dan dua buku berbahasa Prancis ke bahasa Indonesia.

Boleh jadi Yudian memang cerdas, bahkan jenius. Karena itu lingkungan yang lebih pas buatnya adalah dunia kampus atau riset, bukan lembaga publik yang butuh kearifan dan kepekaan bukan sekedar kecerdasan. Andai Yudian arif dan peka, tentu dia mafhum bahwa persoalan jilbab ini telah diperjuangkan sekitar empat dekade. Perjuangan itu sejalan dengan Sila pertama Pancasila, juga dilindungi konstitusi, khususnya Pasal 29 UUD 1945.

Karena itu melarangnya, sekalipun di ruang terbatas, adalah sebuah pelanggaran dan kemunduran. Demikian juga bila ada yang mewajibkannya dengan semena-mena.

Beruntung Presiden Joko Widodo, entah berkat bisikan Ketua Dewan Pengarah BPIP Prof DR. (H.C.) Hj. Megawati Soekarnoputri atau tidak, telah meminta agar anggota Paskibraka yang berjilbab tidak melepaskannya lagi. Bersyukur Presiden Jokowi sangat paham konstitusi dan sadar betul bahwa jilbab sejatinya bukan peninggalan kolonial.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *