Mengharukan! Ada Keturunan Rasulullah di Balik Sejarah Panjang Paskibraka

Mengharukan! Ada Keturunan Rasulullah di Balik Sejarah Panjang Paskibraka (foto ist)

Hajinews.co.id — Nama Sayyid M Husein Mutahar merupakan salah satu habaib yang berkecimpung dalam sejarah pergerakan bangsa. Nasabnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

Ketua Umum Rabithah Alawiyah, almarhum Habib Zen Umar bin Smith, pernah mengungkapkan kepada Republika, al-Mutahar merupakan nama salah satu cabang dari keturunan cucu Rasulullah SAW, yakni garis nasab Husein bin Ali.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

H Mutahar, demikian dia akrab disapa, patut dicatat dalam sejarah sebagai orang yang berjasa dalam gerakan pendidikan kepanduan atau pramuka. Ia juga merupakan penggagas dari terbentuknya Pasukan Pengibar Bendera Pusaka atau dikenal dengan nama Paskibraka.

Tata cara pengibaran bendera pusaka yang dirumuskan oleh Mutahar menghasilkan tiga kelompok, yaitu Pasukan 17 yang bertugas sebagai pengiring, Pasukan 8 yang bertugas sebagai pembawa bendera, dan Pasukan 45 yang bertugas sebagai pengawal. Formasi ini terus digunakan sampai saat ini. Nama-nama formasi tersebut menyimbolkan tanggal kemerdekaan RI.

Kisah Bendera Pusaka

Satu babak penting dalam hidupnya terjadi pada 1945. Saat itu, Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, atas nama seluruh bangsa Indonesia. Sesudah itu, Husein Mutahar berpangkat kapten. Dia diangkat sebagai sekretaris panglima Angkatan Laut saat itu, Laksamana Muda Mohammad Nazir. Tidak menunggu waktu lama, Belanda mewujud kan ambisinya untuk menjajah lagi Indonesia.

Bahkan, kerajaan ini melancarkan aksi militer untuk membuat rusuh di Jakarta. Pemerintah RI pun terpaksa memindahkan ibu kota ke Yogyakarta. Pada 4 Januari 1946, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta meninggalkan Jakarta. Setelah itu, Mutahar diajak M Nazir untuk mendampingi Bung Karno. Menjelang peringatan hari ulang tahun (HUT) kedua RI, orang nomor satu se- Indonesia itu tiba-tiba memanggil Mutahar, yang saat itu telah diangkat sebagai seorang ajudannya.

Lelaki keturunan Arab ini ditugaskan untuk mempersiapkan upacara kenegaraan, yakni peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1946 di halaman Gedung Agung Yogyakarta. Saat itu, Husein Mutahar berpikir bahwa untuk menumbuhkan persatuan bangsa, pengibaran Bendera Pusaka sebaiknya dilakukan oleh para pemuda Indonesia. Karena itu, ia pun menunjuk lima orang muda yang terdiri dari tiga putri dan dua putra untuk melaksanakan pengibaran Bendera Pusaka.

Jumlah kelimanya menyimbolkan Pancasila. Pada 19 Desember 1948, Agresi Militer II pecah. Presiden, wakil presiden, dan beberapa pejabat tinggi RI ditawan Belanda. Sebelum Gedung Agung Yogyakarta benar-benar terkepung, Bung Karno memanggil Mutahar. Dalam pertemuan itu, sang presiden menyampaikan hal penting kepadanya. Salah satunya mengenai Bendera Pusaka. Sang Saka Merah Putih yang dijahit istri Bung Karno, Fatmawati, itu dititipkan kepada Mutahar.

Memori tentang kisah Bendera Pusaka itu tercatat dalam autobiografi Bung Karno, seperti ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Aku (Sukarno) tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu (Mutahar) pribadi. Dalam keadaan apa pun, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera ini dengan nyawamu, kata Sukarno.

Mutahar merasa, tanggung jawab yang di embannya itu sangat berat. Demi menyelamatkan amanah, ia membuat siasat. Bendera Pusaka tersebut dipisahkan menjadi dua. Dengan dibantu oleh seseorang bernama Pernadinata, ia pun membuka jahitan bendera tersebut. Sesudah itu, bendera ini menjadi tampak seakan-akan dua kain yang terpisah: merah dan putih.

Kemudian, Mutahar menyelipkan kain merah dan putih itu di dua tas terpisah miliknya. Seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya dijejalkan di atas kedua kain tersebut. Ia berusaha sebaik mungkin agar kain yang tak ternilai itu tidak direbut tentara Belanda. Baginya, Bendera Pusaka adalah sebuah simbol negara yang harus diselamatkan dan dipertahankan.

Sementara itu, Bung Karno beserta sejum lah pejuang diasingkan oleh Belanda ke Prapat (Sumatra Utara) dan lalu Bangka. Adapun Mutahar sendiri ikut ditangkap dan ditahan di Semarang selama beberapa bulan. Usai bebas, ia selalu mencari informasi dan cara untuk segera menyerahkan Bendera Pusaka kepada Presiden Sukarno. Akhirnya, pada Juni 1949, ia menerima surat dari Kepala Negara.

Isinya adalah pesan untuk menitipkan bendera tersebut kepada Soejdono. Setelah dijahit kembali, Mutahar kemudian menyerah kan Sang Saka Merah Putih kepada Soejdo no untuk dibawa ke Bangka. Pada 17 Agustus 1949, Bendera Pusaka akhirnya bisa dikibarkan lagi di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.

Terlalu banyak kenangan manis yang ditinggalkan Kak Mut, panggilan Mutahar yang lazim digunakan dalam tradisi pramuka. Di akhir masa hidupnya, ia menghuni sebuah rumah di jalan Damai Raya Nomor 20 di sebelah Pasar Cipete bersama Sanyoto, anak angkatnya.

Pada 9 juni 2004, habib tersebut akhirnya pulang ke Timur Abadisatu kata sandi yang seringkali dipakainya untuk menyebut Hadirat Allah. Ia meninggal dunia pada hari itu. Sebagai penyandang bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra, tokoh ini sebenarnya berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

Namun, dalam wasiat yang ditulisnya di hadapan notaris, keturunan Rasulullah SAW ini ingin dikebumikan sebagai seorang rakyat biasa. Maka, Taman Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *