Miris! Pemkab Menunggak Iuran BPJS, Warga Halmahera Utara Kesulitan Akses Layanan Kesehatan

Hajinews.co.id — Warga Kabupaten Halmahera Utara (Halut), Maluku Utara (Malut) pemilik kartu Jaminan Kesehatan Daerah (JKD) kesulitan mengakses layanan kesehatan di rumah sakit umum (RSU) di wilayah tersebut. Hal itu disebabkan pemerintah kabupaten (Pemkab) setempat menunggak iuran BPJS Kesehatan mencapai Rp 17 miliar.

“Akibat utang sebesar Rp 17 miliar belum terbayar ke BPJS (Kesehatan), sehingga warga belum mendapat pelayanan kesehatan,” kata Ketua Komisi III DPRD Halut Sahril Hi Rauf dihubungi dari Ternate, pada Ahad (25/8/2024) seperti dikutip dari Antara.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Penuturan Sahril itu disampaikan setelah berkoordinasi dari Kepala BPJS Kesehatan setempat, Umar. Menurut Sahril, kartu JKD yang dimiliki warga Halut tak lagi aktif karena Pemkab menunggak membayar iuran Rp 17 miliar kepada BPJS Kesehatan. Akibatnya, para warga yang hendak memanfaatkan layanan kesehatan jadi terhambat.

“Kondisi ini sangat memprihatinkan, apalagi kondisi ekonomi, khusus sumber pendapatan (Pemkab) yang relatif tidak tetap harus menjadi perhatian serius,” ujar Sahril.

Dia menuturkan bahwa persoalan tunggakan iuran yang imbasnya kepada layanan kesehatan para warta ini sebenarnya cukup pelik. Namun demikian, salah satu jalan keluar untuk masalah ini adalah dengan melakukan perubahan atau pemetaan APBN 2024, sejalan dengan sumber pendapatan yang menantang.

Dalam hal ini, pendapatan Pemkab Halut mesti dipetakan ulang dari sumber-sumber asli daerah. Selanjutnya, turut menghitung ulang belanja dari dana alokasi umum (DAU) reguler. Lebih jauh, pemerintah setempat mesti melakukan rasionalisasi dan efisiensi belanja dengan lebih pada pendekatan skala prioritas dari semua yang prioritas.

“Salah satunya adalah jaminan kesehatan daerah, dimana pelayanan kesehatan adalah masuk dalam kategori pelayanan dasar harus menjadi perhatian, sehingga bisa menjawab keluhan dan rakyat tidak takut ke rumah sakit akibat dibayang-bayangi soal biaya pengobatan selama di rumah sakit,” kata Sahril.

Selain itu, jika terjadi perubahan APBD 2024 maka salah satu langkah berani yang harus diambil Pemda yakni meniadakan kegiatan-kegiatan yang bersumber dari DAU reguler dan PAD. Jika ini dilakukan dengan cermat, maka pelayanan BPJS akan normal kembali.

“Di lain sisi, kami berharap kepada pihak manajemen BPJS agar pelayanan kesehatan tidak serta merta dikunci alias tidak ada jaminan lagi kepada masyarakat yang sakit. Karena BPJS bukan lembaga swasta murni 100% tapi BPJS bernuansa plat merah, jika pelayanan kesehatan BPJS disetop itu artinya sama dengan pelayanan kesehatan nasional bermasalah, jangan dianggap ini tanggung jawab pemerintah daerah saja. Intinya ada relaksasi terhadap pelayanan kesehatan demi kepentingan pencapaian pelayanan kesehatan secara nasional terwujud,” ungkapnya.

Sahril berharap supaya masyarakat tidak perlu dibebani konflik penjaminan antara Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sebab, rakyat hanya butuh jaminan pelayanan kesehatan terus berlanjut.

Apalagi Jamkesda adalah janji politik, sehingga secara otomatis ini menjadi visi-misi bupati dan wakil bupati. Salah satu kelemahan yang dijumpai dalam kerja kerja-politik dengan mitra (OPD) adalah lemahnya Dinas Sosial untuk bersikap cepat mengalihkan BPJS daerah ke pemerintah pusat sehingga menjadi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Sumber: antara

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *