Duh! Warga hingga Pejabat Tak Tahu Beda SKM dan Susu, Penyebab Stunting di Sumsel Tinggi?

Hajinews.co.id — Sebagai salah satu provinsi dengan jumlah populasi terbanyak ketiga di Pulau Sumatra, Sumatera Selatan (Sumsel) juga menyumbangkan angka stunting yang cukup tinggi.

Dari hasil data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dilaksanakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), angka stunting di Sumsel sekitar 20,3 persen di 2023, di bawah rata-rata stunting nasional.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Sedangkan angka stunting nasional saat ini masih sebesar 21,5 persen, jauh dari target prevalensi 2024 sebesar 14 persen dan standar World Health Organization (WHO) di bawah 20 persen.

Untuk di Sumsel sendiri, angka stunting sempat naik turun di tiga tahun terakhir. Di 2021 lalu, angka stunting sempat melonjak di angka 24,8 persen dan sempat menurun di 2022 sebesar 18,6 persen. Namun tahun 2023, angka stunting di Sumsel mengalami peningkatan 1,7 persen.

Salah satu penyebab tingginya angka stunting di Sumsel, karena pengetahuan tentang gizi untuk ibu hamil dan anak-anak yang masih minim. Bahkan, masih banyak orangtua yang memberikan Susu Kental Manis (SKM) ke anak-anaknya sebagai pengganti susu sufor atau ASI.

Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) menggandeng Majelis Kesehatan PP Muslimat NU, akhirnya menggelar edukasi tentang stunting, gizi buruk dan beberapa permasalahan kesehatan di Palembang Sumsel.

Dari data di lapangan, warga Palembang masih banyak yang mengira SKM adalah pengganti susu untuk pemenuhan gizi anak-anak. Hal tersebut terbukti saat mengunjungi lima keluarga di Jalan Bambu Kuning Kecamatan Sukarami Palembang Sumsel.

Menurut Ketua Harian YAICI Arif Hidayat di Palembang, dari lima keluarga yang ditemui, ada tiga keluarga yang masih menggunakan SKM yang diduga menjadi pemicu anak-anaknya mengalami stunting.

“Mereka mengira SKM adalah susu, padahal SKM itu sirup yang beraroma susu dengan kadar lebih dari 50 persen mengandung gula. Hampir semua anak-anak yang stunting diberikan SKM dan konsumsi yang manis-manis, seperti snack dan permen,” ujarnya, Jumat (30/8/2024).

Doktrin tentang SKM adalah susu, diakuinya, memang sudah menjamur sejak masa lalu. Bahkan dengan masifnya iklan di media massa sejak tahun 1970-an, membuat masyarakat percaya jika dalam SKM ada kandungan susu yang bernilai gizi tinggi untuk anak-anak.

Padahal dalam SKM 100 mL, kandungan gula tinggi mencapai 50gram, atau 15gram gula per 30mL SKM dalam kemasan. Dalam satu sachet SKM mengandung sekitar 4-5 sendok gula yang menjadi standar kebutuhan orang dewasa, yang berbahaya jika dikonsumsi anak-anak secara berkala.

Mirisnya, tak hanya warga saja yang tidak tahu jika SKM bukanlah susu. Namun para pejabat yang ditemui tim YAICI, baru mengetahui jika SKM berbeda dengan susu yang cocok dikonsumsi oleh anak-anak dalam jangka waktu panjang, yang menjadi salah satu penyebab stunting.

Bahkan, ada petugas kesehatan yang mengedukasi SKM adalah susu, saat belum masifnya edukasi tentang SKM. Sehingga doktrin tersebut menular hingga saat ini dan sulit dihilangkan, jika tidak ada edukasi secara masif yang dilakukan bersama-sama.

“Pejabat yang kami temui juga tidak tahu kalau SKM itu adalah gula. Bahkan di sembako (untuk rakyat) juga dimasukkan SKM. Di salah satu daerah di Sumatra, ada kepala daerah yang mengakui anaknya sering mengkonsumsi SKM sebagai pengganti susu,” ujarnya.

Mengonsumsi SKM dalam jangka waktu panjang untuk anak-anak, tidak hanya membuat tubuh tidak tumbuh normal atau pendek, namun juga membuat otak tidak berkembang untuk anak-anak yang sudah berusia 2 tahun ke atas.

Sumber: Liputan6

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *