Sejarah Mencatat, Ibadah Haji Lahirkan Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Penjajahan di Nusantara

Suasana salat berjamaah calon jemaah haji di geladak Kapal Ambulombo.(Dok. Kemenag/haji.kemenag.go.id)

Hajinews.co.id — Ibadah haji bukanlah sekedar persoalan ritual kewajiban agama Islam, bukan pula hanya aspek ekonomi, jalinan keilmuan antara Nusantara dan Timur Tengah. Sebab, ibadah haji juga sebagai media transmisi gerakan pembaharuan dan konsolidasi gerakan perlawanan kepada pemerintah kolonial Belanda di bumi Nusantara. Selain dari itu semua, ibadah haji juga sangat jelas menunjukkan fungsi transformasi masyarakat.

Aktifitas perjalanan haji telah ada sejak masa-masa awal masuknya Islam di Nusantara. Artinya, sejarah haji di Nusantara berusia setua sejarah Islam sendiri karena begitu seseorang masuk Islam, dia dihadapkan pada lima kewajiban dasar yang harus dipenuhi yang disebut rukun Islam (arkan al-Islam), menunaikan haji ke Makkah adalah salah satu dari rukun Islam.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Di antara banyak fungsi transformatif ibadah haji, satu di antaranya ibadah haji sebagai pemersatu kesadaran nasional di bumi Nusantara. Kesadaran nasional tidak hanya terbentuk di Indonesia, tapi juga tumbuh di luar negeri terutama di Makkah dalam suasana ibadah haji karena jamaah dari berbagai daerah di Indonesia berdatangan setiap musim haji.

Bagi yang sudah mukim di Makkah mereka bebas melakukan pertemuan.

Di Makkah, jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu sudah berfungsi sebagai ikatan pemersatu orang Nusantara. Bayangkan, di Makkah orang dari Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi Selatan, Kalimantan, Semenanjung Malaya, Minangkabau dan Aceh selama lima bulan bebas bergaul, tukar pengalaman dan pikiran.

Snouck Hurgronje mencatat bagaimana orang dari seluruh Nusantara ikut membicarakan perlawanan Aceh terhadap Belanda, dan bagaimana mata mereka dibuka mengenai penjajahan Belanda maupun Inggris dan Prancis atas bangsa-bangsa Islam. Di Makkah, jauh sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu sudah berfungsi sebagai ikatan pemersatu orang Nusantara.

Di Makkah, para haji hidup beberapa bulan dalam suasana anti-kolonial, yang sangat membekas pada diri mereka.

Pemberontakan petani Banten tahun 1888 dan pemberontakan Sasak 1892 melawan Bali (yang menduduki Lombok pada zaman itu) jelas diilhami oleh pengalaman tokoh-tokohnya ketika mereka berada di Makkah.” (Bruinessen 1990: 8).

Para jamaah haji dari bumi Nusantara setelah berinteraksi dengan masyarakat dunia di Makkah, mereka memiliki kesadaran untuk melawan penjajahan di bumi Nusantara. Maka lahirlah kesadaran nasional, dan perlawanan terhadap penjajah untuk meraih kemerdekaan. Demikian dijelaskan buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia diterbitkan Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.

Ibadah haji juga berfungsi sebagai sarana mencari ilmu (ngelmu) di pusat Islam yaitu Haramain (Makkah dan Madinah). Banyak haji Nusantara yang bermukim (Jawah mukim) di Tanah Suci dan menuntut ilmu bertahun-tahun sampai menjadi ulama terkenal yang disebut ulama Jawi atau Ashab Al Jawiyyin (saudara kita orang Jawi) sebutan untuk haji yang berasal dari bumi Nusantara.

Misalnya, Syekh Yusuf Al-Makassary (Makassar) dan Syekh Abdul Rauf Al-Sinkili (Singkel, Aceh), merupakan ulama yang malang melintang menuntut ilmu di Haramain pada abad ke-17.

Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani (Palembang), Syekh Nafis Al-Banjari (Banjar, Kalimantan Selatan), Syekh Arsyad Al-Banjari (Banjar, Kalimantan Selatan) merupakan ulama tasawuf Tarekat Samaniyah yang berpengaruh pada abad ke-18.

Dikenal juga nama-nama seperti Syekh Nurudin Al-Raniri (Aceh), Syekh Abdul Rahman Al Masry Al Batawi (Jakarta), Syekh Khatib Sambas (Kalimantan) dan lain-lainnya.

Pada abad ke-19, ulama asal Nusantara bukan hanya belajar bahkan menjadi guru para ulama di Makkah seperti Syekh Nawawi Al-Bantani dari Tanara Banten yang menjadi imam Masjid Al-Haram di Makkah dan menjadi ulama besar yang dihormati karena karya-karyanya yang terkenal di dunia Islam termasuk di Indonesia.

Ulama besar lainnya, Mahfudz Termas dan Ahmad Khatib Minangkabau. Ulama-ulama ini selain mengajar di Makkah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, juga mengilhami gerakan agama di Indonesia dan mendidik banyak ulama Nusantara yang kemudian berperan penting di Tanah Air.

Para ulama setelah belajar di Tanah Suci, kembali pulang ke bumi Nusantara. Mereka menjadi ulama terkenal di Nusantara dan mengajarkan ilmu agama Islam pada murid-muridnya, mendirikan pesantren dan menjadi tokoh penting di masyarakatnya.

sumber: Republika

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *