Dugaan Perundungan: Kemenkes Jangan Trial by The Press, Setop PPDS dan Layanan Klinis Rugikan Masyarakat

Dugaan Perundungan: Kemenkes Jangan Trial by The Press, Setop PPDS dan Layanan Klinis Rugikan Masyarakat

Hajinews.co.id — Ketua Perhimpunan Profesi Hukum dan Kedokteran yang juga pengurus Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) bidang hukum, Muhammad Joni, SH.., MH mengungkapkan sikapnya atas polemik dugaan perundungan Peserta Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (UNDIP).

Muhammad Joni mengatakan penyelidikan harus presisi dan saintifik.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Kemenkes harus obyektif, jangan bias. Polri tidak terpengaruh trial by the press,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Hajinews.co.id, Rabu (4/9/2024).

Adapun ia menyebutkan poin-poin berikut sebagaimana hajinews kutip

1. Kasus dugaan perundungan dokter PPDS UNDIP, mustinya diselidik dan disidik dengan obyektif dan presisi. Dengan saintifik, yang mencari kebenaran fakta dengan jujur dan adil. Tidak bias, over acting dan jauhkan dari anasir drama, karena menyangkut nyawa dan nasib dokter.

2. Pastikan usut mengusut dugaan perundungan PPDS itu hanya untuk mencari fakta yang sebenar-benar fakta hukum (really legal facts). Harus menahan diri umbar spekulasi apalagi jika data sumir, belum/ tidak teruji sebagai fakta hukum. Fakta bukan opini apalagi mis interpretaai bahkan ilusi. Fakta menjadi fakta hukum jika valid dan lulus diuji dengan presisi, saintifik, dan patuhi hukum acara. Umbar opini yang belum teruji berbahaya bagi penegakan hukum yang adil, bahkan ada konsekwensi hukum jika merugikan hak hukum orang lain.

3. Percayakan penyelidikan anggapan klaim perundungan kepada sosok dokter ARL peserta PPDS itu kepada penyelidik Polri, yang bekerja profesional, saintifik, presisi, tanpa intervensi. Kasuistik, jangan gebyah uyah. Jangan campur adukkan kasus individual dokter ARL in-case, dengan info-info bukan in-case. Publik mengawasi, masyarakat mencermati, maka perlu kepastian hukum yang adil, yang tidak bias, apalagi tergopoh stigmatisasi, berlebihan, info sumir yang bukan fakta yang belum teruji sebagai sebenar fakta hukum. Sebab, penyedilikan apalagi penyidikan untuk membuat terang duduk perkara yang wajib mematuhi hukum acara, harus case base, menilai fakta obyektif bukan subyektif, tidak membawa sak wasangka atau prejudice, tentu tidak semberono mengatasnamakan investigasi apalagi tanpa menerapkan hukum acara.

4. Semua pihak menahan diri umbar fakta yang tidak teruji sebagai fakta hukum, karena bisa merugikan orang/pihak lain, mempengaruhi jalannya pemeriksaan. Jauhkan penyelidikan dari aksi opini apalagi sampai trial by the press. Tidak bijak tebarkan fakta yang valitasnya tidak/ belum diuji, tebar tanpa konfirmasi, tidak dikonfrontir dengan pihak yang dikait-kaitkan. Fakta apapun dalam kasus apapun, wajib diperiksa dengan presisi, diperoleh dengan saintifik, diuji dengan kausalitas, diperoleh dengan mematuhi hukum acara.

5. Jika merujuk keterangan dari Kapolrestabes Semarang kepada media, tidak ada bukti adanya perundungan dalam kasus meninggalnya dokter ARL peserta PPDS UNDIP. Karena itu hormati wewenang penyelidik Polri bekerja dengan profesional, saintifik dan presisi. Tidak berdasar opini yang merugikan orang lain.

6. Tidak berdasar menurut hukum Kemenkes tergopoh menyetop program PPDS Anestesi UNDIP. Karena, (1) institusi yang menyelenggarakan PPDS tidak bersalah, dan tidak ada yang diputus bersalah; (2) Program PPDS itu domein pendidikan profesi; (3) Penghentian itu, walau sementara, telah abaikan mandatory tugas rumah sakit pendidikan, dan tidak sah menurut hukum (unlawfull). (4) Tindakan itu merugikan layanan klinis, peserta PPDS, pasien, dan masyarakat luas. (5) Pelayanan klinis adalah kewajiban hukum Negara (state obligation) atas kesehatan rakyat yang dimandatkan via fasilitas kesehatan rumah sakit. Keselamatan dan kesehatan rakyat tanggungjawab asli Negara. Walau, tidak bisa dilupakan upaya tindakan dan merawat pasien itu kemuliaan Sumpah Dokter –yang menjadi profesi di garda depan, dengan egaliter tanpa diskriminasi, serta dedikasi dokter memenuhi tanggungjawab konstitusional Negara, karena itu dokter wajib dilindungi. Pelayanan klinis musti diutamakan, tidak boleh berhenti karena kausal keselamatan pasien.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *