Terjebak Pikiran “Kerdil” para Pemimpin Bangsa?

Memenangkan Hati Rakyat
Hasanuddin (Ketua Umum PBHMI 2003-2005), Redaktur Pelaksana Hajinews.id

Oleh Hasanuddin Ibrahim (Ketua Umum PBHMI 2003-2005), Redaktur Pelaksana Hajinews.id

Hajinews.co.id – Salah satu yang dikeluhkan para diaspora Indonesia sehingga mereka malas kembali setelah menimba ilmu pengetahuan diberbagai negara maju karena menurut mereka pemerintah Indonesia tidak mampu memberi pekerjaan yang “layak” kepada mereka.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Layak” yang mereka maksud tentu sesuai kemampuan ilmu pengetahuan dan penguasaan akan teknologi terbaru yang mereka pelajari. “Layak” tentu juga mesti dipahami dalam konteks salari yang diperoleh mereka dengan bekerja di Indonesia.

Makin banyak warga Bangsa yang terdidik diberbagai Universitas dengan aneka penguasaan ilmu pengetahuan, dengan sendiri memerlukan kemampuan akomodatif dan adaptif negara dalam memberi ruang kreasi yang dibutuhkan.

Alih-alih menjawab tantangan dari para diaspora, pemerintah Indonesia untuk menyediakan lapangan kerja dan gaji yang memadai bagi para pencari kerja lulusan dalam negeri saja, nampak tidak memiliki kemampuan, untuk tidak mengatakan bahwa mereka tidak memiliki kemauan.

Jika dirunut lebih mendalam, problemnya memang bukan perihal kemauan dan kemampuan untuk menyediakan lapangan kerja dengan gaji yang “layak”. Namun dibutuhkan “pemikiran besar”, ide-ide yang mampu mengatasi tantangan yang ada, sekaligus menyediakan tantangan baru yang memerlukan keterlibatan banyak tenaga ahli berlatar belakang berbagai jenis disiplin keilmuan.

Megaproyek, mungkin salah satunya. Tapi “megaproyek” tentu hanya dihasilkan oleh “pikiran besar” dari seorang pemimpin. “Megaproyek” tidak mungkin dihasilkan oleh pikiran kerdil, picik, dan sumpek.

Megaproyek juga tidak selalu berarti infrastruktur pisik, ia bisa berarti “banyak proyek”, bisa berarti infrastruktur teknologi informasi, infrastruktur energy terbarukan, infrastruktur sistem pertahanan keamanan, dan lain sebagainya.

Xi Jinping terlepas dari cara pandang ideologis kita bahwa ia memimpin negara berideologi komunis, terbukti mampu memberi makan, pekerjaan, yang layak kepada warganya yang jumlahnya (plus-minus) 1.6 milyard jiwa. Itu tentu dapat dilakukan Xi karena memiliki pemikiran “yang besar”, cakrawala yang luas dalam memahami perkembangan geo-ekonomi, dari level yang bersifat makro dan mikro. Ia mampu meletakkan sebuah target dan tujuan yang terukur, dan mampu memandu sebanyak mungkin orang terlibat dalam perencanaan besar yang ada dalam pikirannya.

Negara Bangsa yang ingin besar, meniscayakan adanya pemimpin yang besar. Kebesaran pemimpin bukan pada bentuk tubuhnya, tapi pada ide-ide, cita-cita yang ada di alam pikirannya. Idea itu ia “turunkan” kepada para bawahannya, dikordinasikan dengan semua pihak yang harus terlibat dalam mewujudkan ide itu, tanpa batasan. Idea memandunya harus melakukan kunjungan ke negaraan kemana, bertemu siapa, pemimpin negara mana, agar idea itu bisa terlaksana.

Para pemimpin negara adikuasa seperti jajaran Presiden di Amerika dari masa ke masa, selalu memiliki terobosan-terobosan “berbeda” dalam masa jabatan pemerintahannya.

Namun mereka memiliki panduan yang sama, yakni mempertahankan supremasi Amerika Serikat sebagai Negara Adidaya.

Itulah yang ada di kepala setiap Presiden Amerika. Mempertahankan supremasi sebagai Negara Adidaya.

Karena itu, setiap Presiden Amerika niscaya akan memantau seluruh perkembangan ekonomi dunia, terutama perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru, menciptakan peluang bagi sekutunya di satu pihak, dan memotong atau mengendalikan potensi pesaingnya di pihak yang lain.

Tentu saja para pemimpin dunia lainnya yang ingin menyaingi Amerika dan sekutunya memahami hal demikian.

Sebab itu, dalam waktu yang cukup lama, kepala negara Tiongkok menggunakan strategi “membungkuk” di depan Amerika, agar strategi jangka panjangnya tidak dihambat oleh pemimpin Amerika.

Lalu secara sembunyi-sembunyi melakukan pencurian hak intelektual, memalsukan berbagai temuan baru para ilmuwan Amerika untuk dibawa ke China. Melakukan politik dumping dalam ekonominya.

Secara marathon, para pemimpin Tiongkok bahu-membahu mengerjakan roadmap mereka dengan satu tujuan, “menjadi Adikuasa baru” menggantikan Amerika.

Ingin mencapai sasaran itu, maka para pemimpin China mengadopsi pemikiran politik Amerika, untuk digunakan melawan Amerika, yakni “berpikir sebagai negara Adidaya”.

Dengan demikian kita bisa melihat ada dua “doktrin” yang sedang bersaing dalam konteks global dewasa ini. Yaitu doktrin sebagai Negara Adidaya.

Yes… Pemimpin Tiongkok berpikir “sebagai negara Adidaya” dalam kerangka sebagai target, dan pemimpin Amerika berpikir sebagai negara Adidaya dalam kerangka mempertahankan supremasinya.

Lalu, kira-kira kalau ada dua kekuasan besar yang menggunakan “pemikiran yang sama” yakni berpikir sebagai “negara adidaya”, apa yang mesti anda lakukan?

Strategi apapun yang anda jalankan, jika tidak menggunakan pola pikir yang sama, yakni “berpikir sebagai Negara Adidaya”, maka niscaya anda hanya akan tunduk kepada salah satunya.

Karena itu, untuk setara dengan Tiongkok dan Amerika yang berpikiran sebagai “negara Adidaya” maka menjadi keharusan bagi Presiden Indonesia untuk melakukan hal yang sama, berpikir sebagai pemimpin negara adidaya.

Mungkinkah itu? Why not.

Bagaimana itu pola pikir kepala Negara Adidaya?

Kepala Negara Adidaya, baik Presiden China, Presiden Rusia, maupun Presiden Amerika, semuanya memiliki pola pikir realis.

Realisme adalah falsafah politik para kepala negara Adidaya itu.

Bagaimana menerapkan pola pikir realis itu? Caranya adanya mendefinisikan “kebenaran sebagai cara yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai”.

Jika anda bisa memahami pada level aplikasi, berarti anda telah memiliki “pemikiran besar”, sebagai persyaratan untuk memimpin “negara Adidaya.

Prabowo Subianto, Mr President elect Republik of Indonesia how ar’u? Ar’u ready to go?

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *