Pengamat Menilai Ucapan SBY Soal Hanya Ada 1 ‘Matahari’ Sindiran Buat yang Masih ‘Cawe-cawe’

Pengamat Menilai Ucapan SBY Soal Hanya Ada 1 'Matahari' Sindiran Buat yang Masih 'Cawe-cawe' (foto ist)

Hajinews.co.id — Pernyataan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ihwal jangan ‘hanya ada satu mahatari’ mendapat sorotan dari pengamat.

SBY saat memberikan sambutan pada perayaan HUT Ke-23 Partai Demokrat di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta Pusat, Senin (9/9/2024) mengingatkan bahwa hanya ada satu matahari terkait kepemimpinan dalam partai politik dan pemerintahan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Ada falsafah yang bagus, belajar dari tata surya, apa yang ada di alam semesta. Di alam ini, hanya ada satu matahari, tidak ada lagi. Sama dengan Partai Demokrat yang kita cintai, hanya ada satu matahari, yaitu ketua umum kita,” kata SBY, dikutip dari YouTube Kompas TV, Senin.

Presiden keenam RI ini pun mengatakan, banyak matahari justru akan membuat institusi bahkan negara menjadi kacau.

“Akan kacau dalam sebuah negara, dalam sebuah institusi, termasuk partai politik, kalau mataharinya banyak. Bisa dibayangkan, (akan) semakin panas karena matahari satu sudah panas, kalau ada dua, ada tiga, bagaimana,” ujar dia.

Oleh karena itu, dia menegaskan bahwa hanya ada satu matahari di Partai Demokrat, yakni Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku ketua umum.

Lebih lanjut, SBY mengajak semua kader Demokrat yang hadir untuk kembali ke masa lalu, ketika partai Demokrat melaluinya dengan penuh tantangan.

“(Hampir) 10 tahun menjadi partai di luar pemerintahan karena memang ada pihak yang tidak menginginkan Partai Demokrat berada di pemerintahan, tidak mudah,” ujar SBY.

Pengamat Sebut Ditujukan untuk yang Masih ‘Cawe-cawe’

Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno menilai, pernyataan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal matahari kembar ditujukan kepada seseorang yang masih ingin cawe-cawe setelah Presiden terpilih Prabowo Subianto resmi menjabat.

Adapun matahari kembar ini disampaikan SBY dalam saat memberikan arahan pada acara peringatan HUT ke-23 Partai Demokrat di pelataran kantor pusat partai, Jakarta, Senin (9/9/2024).

“SBY ingin menyindir orang dan pihak yang masih ingin cawe-cawe dengan Prabowo setelah jadi presiden,” kata Adi kepada Kompas.com, Selasa (10/9/2024).

“Orang itu mungkin adalah mantan orang kuat, meski tak lagi berkuasa, tapi ditengarai mau terlibat urusan pemerintahan,” ucap dia.

Lebih lanjut, Adi mengingatkan, orang tersebut harus paham bahwa presiden terpilih yang bakal dilantik pada 20 Oktober 2024 adalah satu-satunya matahari di Indonesia.

Dengan kata lain, Prabowo adalah satu-satunya pemimpin tertinggi negara.

“Yang lain minggir bukan siapa-siapa yang tak punya hak ikut campur urusan negara,” kata dia.

Pakar Nilai Jokowi Tak Perlu Cawe-cawe di Pemerintahan Prabowo

Pakar politik Ikrar Nusa Bhakti menilai, usulan Presiden Joko Widodo menjadi ketua koalisi partai politik tak perlu direalisasi.

Ia khawatir, gagasan tersebut justru akan melahirkan “matahari kembar” yang menghadap-hadapkan dua kekuatan, yakni antara pimpinan koalisi dan presiden yang memimpin.

“Janganlah kita menghadirkan atau melahirkan situasi yang sangat pelik dalam politik atau yang disebut dengan matahari kembar,” kata Ikrar dalam program Kompas Petang Kompas TV, Senin (11/3/2024).

Setelah meletakan jabatannya sebagai presiden pada Oktober 2024, menurut Ikrar, Jokowi bisa saja memberi masukan ke presiden yang baru.

Namun, dia menilai, mantan kepala negara tak perlu cawe-cawe terlalu dalam atau bahkan diberikan posisi yang legal di pemerintahan baru.

Hal itu justru dinilai bakal menyulitkan pemerintahan ke depan.

“Biar bagaimanapun yang namanya mantan presiden itu sebaiknya janganlah kemudian cawe-cawe lagi,” ujar Ikrar.

“Tidak perlu bangun suatu sistem baru, ada ketua koalisi, atau kemudian nanti ada istilahnya koordinator menko-lah, atau posisi posisi lain yang kemudian menempatkan Jokowi pada posisi yang dalam, lebih tinggi dibandingkan dengan presiden terpilih itu sendiri, itu sangat tidak enak,” lanjutnya.

Sebagai negara yang menganut sistem presidensial, kata dia, presiden tetap memegang jabatan tertinggi sebagai pimpinan pemerintahan.

“Kalau tadi dikatakan bahwa yang terpilih adalah Prabowo dan Gibran sebagai presiden dan wakil presiden, ya kita harus menghormatilah siapa yang kemudian terpilih dan biarlah kemudian Pak Prabowo yang nanti akan membangun koalisinya,” katanya.

Lagi pula, Ikrar menyebut, tidak tepat jika Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial memiliki ketua koalisi partai politik.

Sebab, ketua koalisi hanya dikenal di negara dengan sistem pemerintahan parlementer.

Ikrar mencontohkan sistem pemerintahan parlementer di Malaysia.

Usai pemilu, di Malaysia akan dibentuk koalisi, berikut pimpinan dan wakil pimpinannya, bergantung dari partai yang paling banyak mendapatkan suara dan kursi di parlemen.

Sementara, di Indonesia, koalisi partai politik merujuk pada kerja sama antarpartai ketika pemilu.

Dalam sistem pemerintahan presidensial, keberadaan parlemen atau legislatif menjadi pengawas bagi pemerintahan atau eksekutif.

“Mereka yang tidak ada dalam pemerintahan juga penting sebagai penengah ataupun penyeimbang dari kekuatan yang ada di pemerintahan. Dan ini sudah terjadi pada eranya Pak SBY, ini terjadi pula di eranya Pak Jokowi,” tandas Ikrar seperti dilansir Kompas.com.

Sebelumnya diberitakan, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie menyatakan, Presiden Jokowi semestinya menjadi sosok yang berada di atas semua partai politik.

Grace mengungkapkan, ada usul dari Ketua Dewan Pembina PSI Jeffrie Geovannie agar Jokowi dapat memimpin koalisi partai politik yang punya kesamaan visi menuju Indonesia emas.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *