Pengamat Wanti-Wanti Wibawa Wantimpres Bisa Rusak jika Jadi Tempat Bagi-Bagi Kekuasaan

Pengamat Wanti-Wanti Wibawa Wantimpres Bisa Rusak jika Jadi Tempat Bagi-Bagi Kekuasaan (foto ist)
banner 400x400

Hajinews.co.id — Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, mengkritik pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang memberikan diskresi besar kepada Presiden dalam menentukan jumlah anggota Wantimpres.

Dia menilai hal ini melanggar prinsip-prinsip konstitusionalisme dan negara hukum yang mengharuskan adanya pembatasan kekuasaan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Indonesia menganut prinsip negara hukum dan konstitusionalisme, yang mengharuskan pembatasan kekuasaan,” kata Susi kepada Kompas.com, Jumat (20/9/2024).

“Ketika jumlah anggota Wantimpres tidak diatur dengan jelas dan sepenuhnya diserahkan kepada Presiden, ini membuka ruang diskresi yang sangat luas,” lanjutnya.

Menurut Susi, diskresi ini memungkinkan Presiden untuk menunjuk sejumlah besar anggota Wantimpres, bahkan lebih dari 50 orang jika diinginkan, tanpa ada batasan yang jelas.

Hal ini berpotensi merusak prinsip kepastian hukum yang seharusnya dijunjung dalam negara hukum, serta merusak lembaga Wantimpres.

“Akibatnya, masyarakat akan mempertanyakan apakah lembaga seperti Wantimpres, yang dibentuk dan dibiayai oleh uang rakyat, dapat berfungsi secara efektif dan efisien,” jelas Susi.

“Wibawa Wantimpres di mata publik bisa dipertanyakan jika lembaga ini tampak hanya menjadi ruang untuk memenuhi kepentingan politik tertentu,” pungkasnya.

Selain itu, Susi juga menyoroti aspek prosedural dalam proses penyusunan RUU yang dikebut di akhir pemerintahan Jokowi ini.

“RUU ini punya masalah dari aspek prosedur dan materi muatan. Dari segi prosedur, pembahasan RUU dilakukan sangat cepat tanpa melibatkan partisipasi publik yang bermakna, yang seharusnya diamanatkan oleh Undang-Undang nomor 13 tahun 2022,” ujar Susi.

Ia menambahkan, meskipun undang-undang itu memberi ruang untuk partisipasi publik dalam, tampaknya prinsip tersebut tidak dijalankan secara optimal.

“Hak masyarakat untuk memberikan masukan, baik secara tertulis maupun lisan, seolah-olah hanya formalitas tanpa diimplementasikan secara substansial,” ungkapnya.

Sumber: Kompas

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *