Kain Kafan, Puncak Peradaban Berpakaian

Kain Kafan Puncak Peradaban Berpakaian
ilustrasi : kain kafan

Oleh : Anang Prasetyo, Guru Seni Budaya

Hajinews – Manusia yang diberi Allah anugerah dan kelebihan dalam meniti kehidupan, selain para Nabi adalah seniman.
Ia yang diberi talenta oleh Allah sifat yaa Mushowwiru, Yang Maha Membentuk, meniscayakan manusia tunduk pada titik kesadaran utama sebagai hamba.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Bahwa tangannya, yang ia gunakan untuk menggambar, memetik gitar, mendesain pola baju dan lain karya kesenian, membuat ia sadar dengan hakekat sangkan paraning dumadi.
Ia mengetahui bahwa dirinya adalah manusia yang pengetahuannya adalah anugerah pemberian Tuhan. Meskipun, pada kasus tertentu, sifat Yaa Mushowwiru dalam dirinya itu, akhirnya terkadang menggelincirkan dirinya untuk merenggut sifat yaa Mutakabbiru, Yang Maha Sombong, culas dalam kedegilan akut. Hingga menganggap bahwa dirinya adalah segalanya. Bahwa seolah “cogito ergosum” nya melupakan hakekat siapa yang memberinya kemampuan berfikir.

Hingga ia menjadi lupa hakekat kemanusiaannya, yang kemudian larut dalam eksistensi keakuan, psikologi jumawa dan ananiyahnya dalam melakoni berkesenian dalam kehidupan.
Tak ayal ego nya mengalahkan psikologi ruhiyah sejati dalam diri.
Meskipun, tentu saja, tidak semua seniman demikian.

Seniman sebagai manusia yang diberi daya cipta, rasa dan karsa, pada saat mencipta dan kreativitas karya, diberi nilai estetika dan artistika yang lebih dibanding manusia lainnya. Itulah mengapa, tatkala Rasululloh bersabda bahwa Innalloha jamiilun yuhibbul jamal. Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Maka para seniman berupaya maksimal menghasilkan karya yg indah, artistik estetik !

Walhasil nilai-nilai keindahan merupakan maksud capaian utama yang hendak ia sampaikan dalam setiap karya seninya.

Dalam konteks berpakaian inilah, para seniman mencipta, mengkreasi desain baju yang sangat beragam. Indah, cantik menawan merupakan upaya capaian visual, sehingga enak dan indah dipandang mata.
Maka, dalam rentang peradaban dan kebudayaan manusia di nusantara, kita disuguhi “panggung drama” berpakaian yang sungguh menakjubkan.
Semuanya serba mengalir tanpa ada paksaan. Benar-benar mengikuti hakekat sangkan paraning dumadi tadi.
Darimana kita, mau apa didunia ini dan kemana setelah ini.

“Etape” dan estafet peradaban, khususnya budaya berpakaian bagi perempuan Jawa khususnya, sebagai contoh nyata visual, ternyata mengalami proses evolusi kebudayaan. Mulai dari telanjang dada – kembenan – kebaya – kerudungan – jilbaban hingga di era milenial yang memaksa manusia memakai “cadar” akibat pandemik, bahkan kaum lelakinya juga mengenakan.
Aslinya ini merupakan episode terakhir kesadaran manusia dalam mencari kebenaran hakiki dalam berpakaian !.

Meskipun, harus disadari bersama, sebagian saudara kita di belahan pula timur nusantara, ada yang masih mencapai tahapan etape telanjang dada. Sebab setidaknya, di pula Dewata pada era 1970-an masih kita temukan wanita yg juga bertelanjang dada. Barangkali saat ini sudah meningkat kesadarannya memakai kemben atau kebaya.

Fakta empirik ini, sesungguhnya merupakan fakta kebudayaan yang tak terbantahkan. Namun ia, sekali lagi, mengalir demikian adanya.

Disisi lain para perempuan, di kepulauan Jawa khususnya, kesadaran berpakaian mengalami “evolusi” yang signifikan. Tatkala era sebelum dan selama kekuasaan Majapahit, para perempuan yang bertelanjang dada bisa kita lihat pada artefak berupa Patung Ken Dedes. Hingga di era Demak dan Mataram Islam sudah meningkat ke pakaian kemben. Sebagian para ningratnya sudah memakai kebaya.
Hingga di era penjajahan Belanda dan era kemerdekaan, para perempuan ini sudah mulai mengenal dan mengenakan kerudung.

Tatkala orde baru di era Suharto berkuasa, khususnya tahun 1990an, kesadaran itu meningkat menjadi berjilbab. Hingga pakaian ini menjadi trend para perempuan muslimah Indonesia.
Setidaknya, ini akibat mengalami pengaruh dari wilayah barat kepulauan nusantara di Sumatra, yang terlebih dahulu memiliki kesadaran berjilbab.

Maka, jika hari ini, kita “dipaksa” mengikuti peradaban milenial, yaitu mengenakan masker, jangan-jangan itu adalah “peringatan terakhir” Tuhan bagi manusia.
Sebab, betapa dulu tatkala melihat perempuan bercadar, maka julukan ninja-ninja, dan sebutan radikal radikul begitu menggema.
Bahkan secara sarkastis, ada seorang pelukis yang memberi judul “Bukan Perempuanku ! ” , dengan melukiskan 2 perempuan yang bercadar diatas kanvasnya !.
Luar biasa !

Tuhan akhirnya yang “turun tangan” saat aturan berbaju sesuai syariat Nya ini dinistakan. Seolah Allah hendak mendemontrasikan kekuasaan Nya yang absolut ( bhs Jawa : melehne!) kepada manusia culas dan degil dalam mengomentari berpakaian bagi perempuan muslimah ini.

Kini, memasuki era pandemi, kita ” diwelehne pula” , dipaksa diam dg simbol diplesternya mulut kita dg memakai masker. Tiba-tiba kita tergagap.
Tak menyangka dan mengira, baik laki-laki dan perempuan sedunia swcara massif, “dipaksa” bercadar !. Apalagi para petugas medis nya.
Swkali lagi, barangkali ini adalah peringatan terakhir bagi manusia untuk tunduk pada kekuasaan Nya !

Sebagai penutup, dalam memaknai hakekat sangkan paraning dumadi itu, ternyata masih ada tahapan terakhir dalam berpakaian.
Yaitu memakai kafan.
Mengenakan pakaian layaknya mukena atau ber kain kafan, adalah terminal akhir peradaban dalam berpakaian.
Inipun mengharuskan laki laki dan perempuan Muslim muslimah mengenakan pakaian akhir hidupnya.

Inilah akhir dan sebagai puncak peradaban manusia dalam berpakaian.
Inilah hakekat sangkan paraning dumadi manusia dalam menetapi aturan syariat Tuhan yang hakiki, yakni Allah ta’ala.

Paradigma epistemologi kewahyuan menjadi basis utama yang menjadi hudan, bayan serta irfan dalam berkesenian dan berkebudayaan akhirnya tunduk luruh dalam masalah pakaian ini.

Seniman sekalipun , yang memiliki daya kreasi dan mencipta pun, akhirnya juga tunduk dalam kesucian berpakaian.
Layaknya baju ihrom yang ia kenakan saat umroh dan haji. Kain kafan ini jadi simbol kesucian yang putih di dalam menghadap kepada Tuhannya.
maka kain kafan, yang putih bersih itu menjadi akhir dari dharma setianya, kebaktiannya, dan ibadah serta khidmahnya kepada Allah ta’ala di dunia ini.

Maka, sesungguhnya, kain kafan adalan pakaian akhir dan puncak peradaban manusia yang tunduk pasrah pada ketentuan Nya !

(Joglo Sendang Kamulyan Jepun Tulungagung, Selasa 4 Rojab 1442/ 16 Pebruari 2021)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *