Perjalanan Spiritual Syafruddin Prawiranegara

Perjalanan Spiritual Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara

Oleh Arif Wibowo, Perawat literasi Masyumi

Hajinews – Beberapa waktu lalu, seorang teman yang datang ke rumah saya bercerita, bahwa apa sebenarnya pak Syafrudin itu tidak begitu mengenal Islam. Oleh karena itu, sebenarnya ia mengalami dilema ketika Indonesia mengambil jalan demokrasi kepartaian, apakah ia akan bergabung ke Partai Sosialis Indonesia atau ke Masyumi, meski akhirnya ia akhirnya memilih berlabuh ke Masyumi, namun pilihannya lebih karena kedekatan, sebab keluarga besar pak Syafrudin memang banyak dari kalangan Kyai.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Sebenarnya, malah bukan hanya pada sosialis, kalau sepembacaan saya. Syafruddin bahkan sempat tertarik pada komunisme, Karena Syafrudin itu hidup di masa ketika bangsa ini hanyalah menjadi bangsa buruh bagi kaum kolonialis, Dan Syafruddin menemukan spirit perlawanan kelas itu pada buku-buku komunis. Pilihan itu dijatuhkan ketika Pak Syafruddin duduk di bangku AMS (Algemenne Middlebare School, Sekolah Menengah Umum setingkat SMU sekarang), setelah membaca banyak buku kemasyarakatan seperti sosialisme dan kapitalisme.

Sebelumnya, ada peristiwa khusus yang mengantarkan Syafruddin untuk mempelajari komunisme lebih mendalam. Ketika pada tahun 1926, di daerah Banten terjadi pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda, oleh surat-surat kabar diberitakan sebagai pemberontakan komunis. Syafrudin menjadi lebih penasaran dengan komunisme. Sebab dalam pemberontakan itu, banyak kaum keluarganya yang ikut ditangkap dan dibuang ke Digul atas, bukanlah orang komunis. Mereka adalah kyai-kyai yang sangat teguh memegang dan menjalankan ajaran Islam.

Kenyataan itu menimbulkan tanda tanya dalam dirinya ? Mengapa orang-orang Islam yang taat itu melakukan “pemberontakan komunis ?” Apakah Islam sama dengan komunis ? Apakah sebenarnya komunisme itu ? Dan berbagai pertanyaan sejenis berkecamuk di dalamnya.

Oleh karena itu, seiring dengan meningkatnya kemampuan bahasa asingnya, maka Syafruddin pun makin intens mempelajari karya-karya komunisme. Syafrudin pun intens membaca buku karya Karl Marx, Das Kapital dalam Bahasa Jerman yang mejadi sumber ajaran komunisme. Selain itu Manifesto Komunis yang disusun Karl Marx bersama sahabatnya Frederich Engels pun di pelajarinya. Intensitas yang tinggi dalam membaca buku-buku itu menimbulkan keguncangan pada sendi-sendi keagamaan Syafruddin.

Bagaimana tidak, sejak kecil Syafruddin dididik dalam suasana keagamaan yang taat, percaya akan kemahakuasaan Tuhan, percaya akan takdir dan adanya hidup setelah mati. Sementara dalam buku-buku yang dibacanya dia menemukan pandangan yang sangat memperlihatkan kebencian pada agama, tidak percaya akan adanya Tuhan sebab yang ada hanyalah materi. Untuk mempertahankan agamanya, Syafruddin hanya bisa mengaji, mebaca Al Qur’an yang tidak ia kuasai maknanya, karena ia tidak menguasai bahasa Arab. Pada saat itu buku-buku Islam dalam bahasa Indonesia masih sedikit sekali jumlahnya, dan itu pun berkisar masalah ibadah.

Awal Syafruddin membaca kritik terhadap ajaran Komunisme justru pada buku berbahasa Belanda yang ditulis seorang pendeta Kristen. Baru pada tahun 1934, ketika ada terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Belanda oleh Soedewo (yang merujuk pada terjemahan Al Qur’an dalam bahasa Inggris oleh Maulana Muhammad Ali) pada 1934, perlahan Syafruddin mulai bisa memahami makna Al-Qur’an. Pada waktu itu juga, Syafruddin menyadari pentingnya penguasaan bahasa Arab untuk bisa menghayati kedalaman dan kebenaran ajaran Al-Qur’an. Karena kesibukan batinnya dalam mencari kebenaran itu, studinya di RHS (Rege Hoge School – Sekolah Hukum) sempat terhenti selama tiga tahun. Padahal waktu itu tinggal menyelesaikan skripsinya. Baru pada waktu ayahnya meninggal secara mendadak pada bulan Maret 1939, Syafruddin seakan-akan terjaga dari kantuknya.

Kematian Yang Menyadarkan

Kepergian ayahnya yang diluar dugaan, ketika berpidato sambil mengutip ayat-ayat Al-Qur’an menyadarkan Syafruddin akan akar kepercayaannya terhadap Islam. Siapa yang mengira bahwa ayahnya akan meninggal begitu tiba-tiba ? Bukankah itu merupakan bukti akan adanya ketentuan yang tidak dapat dielakkan dan tidak diketahui lebih dahulu oleh manusia ? Usia ayahnya relatif muda dan masih penuh daya hidup, banyak orang lain yang jauh lebih tua daripada ayahnya dengan hasrat hidup yang sudah padam tapi masih juga hidup. Bukankah itu merupakan bukti akan adanya kekuasaan atas diri manusia yang melebihi keinginan manusia sendiri ?

Jenazah ayahnya dibawa dari Kediri ke Blitar, dan disemayamkan secara Islam di kota tersebut. Masyarakat dari berbagai lapisan menghadiri pemakaman tersebut. Setiap malam orang-orang yang datang mengaji di rumahnya datang tiada terputus. Ucapan-ucapan yang disampaikan para pentakziah selalu dengan kutipan-kutipan ayat Al Qur’an atau kata-kata yang lazim diucapkan seorang muslim ketika dalam suasana duka. Semua itu kian menyadarkan Syafruddin bahwa dia adalah seorang muslim yang berpangkal kepada kepercayaan akan adanya Allah Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa atas hidup mati makhluk-Nya, yang telah mengutus Muhammad sebagai Nabi yang terakhir untuk menyampaikan risalah-Nya.

Dalam waktu enam bulan setelah kematian ayahnya, Syafruddin dapat menyelesaikan skripsinya yang telah lama terbengkalai. Pada bulan September 1939, Syafruddin lulus sebagai Meester in de Rechten (Sarjana Hukum). Syafruddin sangat gembira, sebab disamping keberhasilannya dalam menyelesaikan studi, ia merasa bersyukur tidak jadi jatuh ke jurang ateisme. Pendidikan kei Islaman yang ditanamkan sejak kecil, telah menuntun dirinya untuk tetap menapak di jalan yang lurus, seperti yang selalu dimintanya pada Tuhan pada setiap melaksanakan ibadah shalat. Keputusan untuk mengikuti hati nuraninya pun tetap dilakukan Syafruddin, ketika di masa setelah kemerdekaan, dimana demokrasi kepartaian tumbuh, ada dua tarikan besar dalam diri Syafruddin apakah akan bergabung ke Partai Sosialis Indonesia, sesuai kecenderungan intelektualnya ataukah kepada Partai Masjumi yang merupakan Partai Islam. Sekali lagi, Syafruddin memenangkan keinginan hatinya untuk bergabung dengan Partai Masyumi, hal ini sekaligus untuk menunjukkan baktinya pada keluarga besarnya yang merupakan muslim taat.

Tak Pernah Berhenti Mengaji

Ketika memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat, Syafruddin seolah menuntaskan dahaganya dalam mempelajari Islam. Sebab iklim ke Islaman di Sumatera Barat lebih terbuka, Syafruddin dapat dengan leluasa menanyakan segala hal yang belum ia ketahui kepada para ulama di Sumatera Barat. Untuk itulah ia secara khusus menuliskan kesan ini.

… saya dapat menyaksikan perbedaan lain antara (kultur) Islam yang ada di Banten dengan (kultur) Islam yang ada di Minangkabau. Dengan Islam. Di Banten, orang tidak dapat mengadakan diskusi. Kalau bukan Kiai kita harus mengikut saja. Di Minangkabau, Islam lebih masuk akal karena segala soal bisa dibicarakan.

Lebih lanjut Syafruddin juga melihat betapa besarnya peran Islam dalam membentuk sebuah nation yang bernama Indonesia.

Kalau tidak ada agama Islam, maka nasionalisme (Indonesia) itu tidak akan begitu cepat tumbuhnya. Justru karena perasaan agama yang meliputi bagian yang terbesar dari rakyat kita dan yang tidak terbatas pada satu-dua pulau saja, tetapi melingkupi seluruh kepulauan Indonesia, maka perasaaan kedaerahan dapat cepat diatasi dengan memberi dasar yang luas dan subur bagi tumbuhnya benih nasionalisme.

Kekagumannya pada aspek-aspek Islam yang telah menyumbangkan jasa tak ternilai dalam kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan Syafruddin Prawiranegara tidak pernah berhenti belajar tentang Islam. Bahkan di saat kesibukannya yang padat sebagai Gubernur Bank Indonesia yang pertama. Di luar kesibukannya yang luar biasa sebagai Gubernur Bank Sentral, setiap harinya Syafruddin menyediakan waktu khusus untuk belajar Islam, biasanya pada malam hari, antara pukul 23.00 sampai pukul 01.00. Buku-buku Islam dalam berbagai bahasa pun dilahapnya, mulai yang berbahasa Indonesia, Inggris sampai Belanda. Syafruddin juga serius mempelajari Bahasa Arab, sehingga ia dapat mempelajari Al-Qur’an dan Islam langsung dari sumbernya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *