Cara Masyumi Berantas Korupsi

Cara Masyumi Berantas Korupsi
masyumi

Oleh Beggy Rizkiansyah, Pengkaji Sejarah

Hajinews – Ketika itu, negara dibawah pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955). Pemerintah kala itu memang menggelorakan ekonomi nasional (termasuk nasionalisasi) dengan memberikan kredit-kredit pada pengusaha nasional.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Namun, Menteri Keuangan saat itu, Iskaq Tjokrohadisoerjo (1953-1955), melakukan politik nasional dalam ekonomi dengan banyak diskriminasi. Ia mengutamakan pengusaha dari partai PNI saja, atau yang menyokong pemerintahan PNI (Ali) sehingga diberi kemudahan tanpa memperhatikan kemampuan. Termasuk salah satunya, perusahaan importir kertas baru, Inter Kertas, yang setengah dari sahamnya dimiliki oleh Sidik Djojosukarto. Menteri Iskaq berbuat seperti ini, bukan tanpa alasan.

Tampaknya PNI mengejar persiapan untuk pemilu tahun 1955. Bahkan mengambil kebijaksanaan untuk menyokong dana partai. Bersama Ong Eng Die (keduanya dari PNI), mereka memerintahkan dana kementerian untuk disimpan di Bank Umum Nasional, suatu bank PNI.

Mereka juga merombak personalia dana administrasi kementerian terutama yang berhubungan dengan perdagangan dan perindustrian. Menteri Iskaq juga pernah membatalkan Koperasi Batik Indonesia sebagai satu-satunya importir cambrics, dan memberi lisensi ini kepada beberapa importir tak berpengalaman. Selain itu dia juga memberikan izin impor kertas untuk pemilu kepada suatu perusahaan yang sahamnya dimiliki orang-orang PNI.

Kebijakan-kebijakan seperti ini mendapat tentangan keras dari partai Masyumi. Ketua Seksi Ekonomi dari parlemen, KH Tjikwan (Masyumi) mengajukan mosi di parlemen untuk interpelasi, guna mempertanyakan kebijakan Menteri tersebut. Mosi untuk interpelasi diterima dengan suara bulat. Namun mosi tak percaya berakhir dengan kegagalan.

Kegagalan ini lebih bersifat politis, yaitu pemihakan kekuatan antara oposisi dan partai yang ikut dalam kabinet. Walaupun begitu, Partai NU yang ikut serta dalam kabinet turut mengirimkan nota politik yang berisi kekhawatiran tentang masalah ekonomi. Begitu pula PSII yang juga ikut dalam kabinet menyatakan tidak bertanggungjawab atas kelanjutan kebijakan menteri-menteri dari PNI itu.

Kabinet Ali Sastroamidjojo menyerahkan kekuasaannya kepada Boerhanoeddin Harahap pada 12 Agustus 1955. Di sinilah kemudian Kabinet Boerhanoeddin yang berasal dari Masyumi membuktikan dirinya melawan korupsi dengan lantang. Kabinet Boerhanoeddin langsung melancarkan kampanye anti korupsi. Pasal lima dari program kabinet ini adalah memberantas korupsi.

Kabinet ini langsung menyikat orang-orang yang terindikasi korupsi. Beberapa hari setelah dilantik, Mr Djodi Gondokusumo, bekas Menteri Kehakiman ditangkap. Begitu pula Menteri Keuangan Ong Eng Die. Rumah Iskaq Tjokroahdisurjo digeledah. Saat itu Iskaq sendiri sedang berada diluar negeri. Ia berkali-kali dipanggil pulang. Tetapi perjalanannya di luar negeri diperpanjang.

Dalam biografinya, ia mengakui, sebetulnya ia hendak pulang, tetapi di Singapura ia dijemput Lim Kay, yang diutus pimpinan pusat PNI. Iskaq sendiri tahun 1960 divonis bersalah oleh pengadilan, namun kemudian diselamatkan Soekarno dengan grasinya.

Daftar orang-orang yang ditahan termasuk beberapa orang di badan penyelidik negara, pejabat kantor impor, serta pengusaha (importir). Penangkapan merebak di mana-mana. Bandung, Surabaya, Sumatera tengah, Jawa tengah hingga Penang. Termasuk di Singapura, Konsul Jenderal Arsad Astra juga dipanggil pulang dan ditahan.

Delapan hari setelah dilantik, Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap – yang saat dilantik baru berusia 38 tahun- menjelaskan kebijakannya melawan korupsi,
Untuk memperbaiki kembali keadaan yang tak sehat dalam masyarakat, dan juga di dalam kalangan pemerintahan sebagai akibat dari tindakan-tindakan korup oleh berbagai orang, maka pemerintah menganggap perlu untuk menjalankan tindakan-tindakan yang keras dan tegas.

Ia juga menegaskan tak pandang bulu membasmi korupsi, tanpa peduli partai, golongan atau agamanya. Ia kemudian juga menggencarakan perlawanan dengan memperluas kekuasaan Jaksa Agung. Ia membebaskan Jaksa Agung dari tiap pembatasan sehingga dapat bertindak terhadap siapa saja atas dasar hukum.[13]

Kabinet Boerhanoeddin Harahap

Gebrakan yang lebih keras dari kabinet beliau adalah, saat kabinetnya mengeluarkan RUU Anti Korupsi yang memuat suatu exorbitant-recht. RUU itu mewajibkan kepada pegawai negeri atau orang lain untuk memberikan bukti-bukti yang menerangkan asal-usul harta benda (kekayaan) yang dimilikinya, yang biasa diistilahkan de bewijslast-omkeren.

RUU anti korupsi itu terdiri dari dua bagian, pertama, mengatur berbagai tindakan di dalam peradilan yang ketentuannya berlainan dengan peradilan biasa. Yaitu mengadakan pengadilan tersendiri -seperti juga untuk tindakan pidana ekonomi- dan terdakwa harus dapat menjawab dengan sejujurnya terhadap berbagai tuduhan kepadanya.

Bagian kedua dari RUU tersebut adalah mengatur berbagai tindakan di luar peradilan. Bagian ini memungkinkan penyelidikan harta benda seseorang oleh Biro Penilik Harta Benda, untuk menyelidik besarnya harta dan kelegalan kepemilikan harta tersebut. Suatu praktek pencegahan korupsi yang akhirnya baru dimulai beberapa waktu belakangan ini.

RUU ini pun dibawa ke parlemen. Namun sayangnya RUU ini kandas setelah tidak mendapatkan dukungan memadai dari partai berpengaruh seperti Partai NU. Boerhanoeddin sendiri tidak mengetahui sebab penolakan itu oleh Partai NU. Rangkaian usaha kabinet ini memberantas korupsi, seringkali dituduh sebagai aksi balas dendam, termasuk oleh PNI. Namun Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap menolaknya, ia menegaskan pemberantasan korupsi dilakukan secara, obyektif, hati-hati dan tidak asal tangkap.

Sesungguhnya kita tidak perlu merasa heran dengan sikap para tokoh Masyumi yang anti korupsi. Karena sikap itu telah ditunjukkan oleh para tokohnya dengan kasat mata dalam kesehariannya. Mereka adalah pemimpin yang seringkali dikenal hidup sederhana dan taat beragama.

Jika kita menilik kembali pada saat Masyumi beserta tokoh-tokohnya, umumnya kita akan mendapatkan kesan kehidupan mereka yang jauh dari kemewahan. Meskipun memegang jabatan tinggi di pemerintahan, hidup mereka tak lekat dengan gelimang harta. Sebut saja kisah kesederhanaan M. Natsir, yang diakui oleh Indonesianis, George McTurnan Kahin. Nama Natsir dikenal oleh Kahin, lewat H. Agus Salim. Beliau (H. Agus Salim) merekomendasikan nama Natsir sebagai narasumber untuk Republik.

“Dia tidak bakal berpakaian seperti seorang Menteri. Namun demikian dia adalah seorang yang amat cakap dan penuh kejujuran; jadi kalau anda hendak memahami apa yang sedang terjadi dalam Republik, anda seharusnya bicara dengannya,” jelas H. Agus Salim.

Kahin membuktikan dengan matanya sendiri, ia melihat Natsir sebagai Menteri Penerangan, berdinas dengan kemeja bertambal. Sesuatu yang belum pernah Kahin lihat di menteri pemerintahan manapun. Bahkan ketika menjabat sebagai Perdana Menteri pun, Natsir tak mampu membeli rumah untuk keluarganya. Hidupnya selalu di isi dengan kisah pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *