Jalan Buntu Kaum Borjuasi

Jalan Buntu Kaum Borjuasi
foto: kaum bangsawan borjuis inggris
banner 400x400

Oleh : Tikwan Raya Siregar

Hajinews – Para bangsawan Inggris pada masa-masa kebangkitan pengetahuan di Eropa, punya selera yang tinggi dan mulia. Mereka berkumpul dalam asosiasi, kemudian membicarakan eksplorasi keilmuan tentang alam semesta dimana mereka dan ratusan juta manusia lainnya hidup.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Dengan kegemaran melakukan charity pada dukungan riset, penjelajahan, dan proyek-proyek ekspedisi tertentu, mereka menjadi kunci dari berbagai terwujudnya penyingkapan rahasia semesta. Mereka menyediakan kepustakaan, dana, kapal-kapal, dan mencari orang-orang berbakat. Lalu hasil-hasil penelitian itu mereka muliakan di sidang-sidang terhormat, penuh kebanggaan, penghargaan, tepuk tangan, dan tentu saja: makan malam yang mewah. Para bangsawan itu saling berkompetisi, saling mengundang, dan saling mengapresiasi hasil proyek-proyek yang mereka dukung dan biayai. Apa yang mereka dapatkan adalah rasa puas dan nama baik. Dan sebagai bangsawan, adalah rasa hormat yang meningkat, yaitu kehormatan yang diwariskan.

Tapi para bangsawan ini telah digantikan oleh kaum borjouis. Mereka menghitung setiap sen pengeluarannya untuk setiap sen keuntungan yang harus diterimanya. Mereka mengoleksi harta, mobil, dan rumah-rumah mewah, para budak, dan rasa tamak yang meningkat. Mereka membuat setiap penemuan menjadi keuntungan, memulai merkantilisme, dan akhirnya kolonialisme. Mereka mengada-adakan hak cipta, hak paten, dan sejenisnya, untuk mengeruk keuntungan yang kekal. Dan manusia menderita karenanya.

Penemuan terbesar mereka di penghujung kerakusan ini adalah gagasan tentang uang kertas yang kemudian dikawinkan bersama kolonialisme dan kontrol terhadap umat manusia, untuk memberi jalan tak terbendung kepada pergerakan modal-modal mereka. Menciptakan pabrikasi uang untuk mewujudkan hasrat tak terbatas mereka.

Dan di sanalah kita berada kini. Yaitu di musim gugur kapitalisme, yang telah mulai menampakkan kemustahilannya kecuali dengan perpanjangan penindasan dan penderitaan ummat manusia. Dimana semangat ilmu telah dikubur oleh semangat harta.

Cita-cita mereka adalah menjadi bangsawan. Maka seluruh tradisi kebangsawanan telah mereka tiru dengan keras. Mereka menyelenggarakan pendidikan mahal pada keluarganya. Mengejar harta untuk mendapatkan kehormatannya. Dan mengambil kekuasaan melalui celah demokrasi yang mereka promosikan. Serta menciptakan rente untuk mempertahankan derajatnya.

Mereka sadar betul, ada darah yang tidak mungkin bisa mereka warisi. Oleh karenanya, feodalisme harus diakhiri. Kelas bawah dijungkirkan ke atas, suara terbanyak menjadi bobot kekuasaan. Aristoteles mengatakan, ini adalah kelas orang-orang yang tidak pernah kenyang perutnya, dan tidak mampu memikirkan hal lain kecuali tentang miliknya. Kita sekarang mengenal ini sebagai perilaku korupsi.

Pesan sejati dari demokrasi, melalui tangan kaum borjuasi, adalah: agar mereka memiliki jalan dari luar jalur darah yang tak terwarisi. Ini bukan soal rakyat. Ini soal coup d’taat. Rakyat cuma komoditas politik, senjata kelas, dan legitimasi.

Para borjuasi menyamarkan asal-usulnya dengan mengadopsi semua tradisi kebangsawanan, seperti cara berpakaian, cara berbicara, cara memperlakukan keluarga, cara mengapresiasi musik, sastra, melakukan charity, memupuk martabat, membangun kehormatan, memimpin bangsa, dan seterusnya.

Tetapi, tiruan tetaplah tiruan. Entah bagaimana, yang berkembang kemudian justru adalah industri pendidikan, fashion yang makin norak dan menyiksa tubuh, CSR untuk keuntungan perusahaan, percakapan yang dangkal, kesenian yang kian absurd dan kasar, serta kepemimpinan suatu negara sebagai tiruan dari kepemimpinan suatu bangsa.

Tradisi memang bisa ditiru-tiru. Tapi jiwa tidak pernah bisa kembar. Pada akhirnya, borjuasi akan menunjukkan sendiri sifat aslinya.

Bagaimanapun jua, kebangsawanan adalah perihal selera, pengetahuan, dan cita-cita. Bukan pranata. Suatu kaum, sepanjang cita-citanya adalah menjadi bangsawan, maka ketahuilah, para bangsawan tidak pernah memiliki cita-cita menjadi bangsawan. Mereka adalah orang-orang yang pada dirinya tumbuh sesuatu yang tidak ditanam. Dan mereka bukan suatu kelas atau golongan tertentu. Sifat ini bisa lahir pada siapa saja. Mereka lahir dari kualitas tertentu, seumpama ribuan biji yang beberapa di antaranya tumbuh sebagai beringin, dan sebagian lagi sebagai kelapa. Dan kelapa tidak bercita-cita menjadi beringin. Kelapa memiliki sifat kemanfaatan pada dirinya sendiri sepanjang ia menerima takdirnya berbuah kelapa. Bila tidak, maka kelapa akan meniru beringin tanpa pernah bisa menyamainya dan hanya akan menimbulkan kerugian besar di sekelilingnya.

Demikianlah jua para borjuasi. Cita-cita dan kemampuan mereka adalah untuk memiliki. Sedangkan para bangsawan, mereka sudah selesai dengan memiliki, dan takdir mereka adalah bagaimana caranya untuk membagi. Membagi harta dan kekuasaannya. Hanya mereka yang “memiliki” yang dapat memberi.

Mentalnya sangat berbeda. Dan ini adalah sebuah pengetahuan besar. Pengetahuan mengenai hakikat kaya dan miskin. Pengetahuan tentang kualitas, bukan jumlah. Bukan adu banyak suara. Bukan adu keras bicara. Mereka yang suaranya banyak akan terdengar berdengung-dengung tanpa artikulasi. Mereka yang suaranya keras akan terdengar kehilangan arti. Inilah suara para budak. Orang-orang yang telah diprovokasi oleh kaum borjuasi, demi keuntungan mereka sendiri.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *