Kenaikan Iuran BPJS, PBNU: Pemerintah Tidak Pro Rakyat Miskin

Foto: CNBC Indonesia
banner 400x400

Jakarta, hajinews.id-Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2019, Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) tetap memutuskan bahwa iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tetap naik. Hal ini disampaikan langsung oleh Menko PMK Muhadjir Effendi, Senin (6/1).

Menanggapi kenaikan iuran BPJS ini, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesehatan Syahrizal Syarif menilai, keputusan pemerintah yang bersikukuh menaikkan iuran BPJS, terutama kelas III, merupakan kebijakan yang tidak pro rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

”Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang penyesuaian iuran BPJS terutama untuk kelas III peserta dari mandiri menunjukkan kebijakan yang tidak pro-poor,” kata Syahrizal seperti diberitakan NU Online pada Selasa (7/1).

Seharusnya, kata Syahrizal, pemerintah bisa membayarkan semua iuran kelas III. Jika pun hal tersebut dirasa memberatkan, pemerintah dapat mengalokasikan sebagian pajak rokok yang juga dinaikkan pada awal tahun baru 2020 ini.

”Sebenarnya pemerintah dapat memanfaatkan pajak cukai rokok yang juga naik bersamaan dengan kenaikan iuran BPJS,” kata Wakil Rektor I Bidang Akademik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu.

Syahrizal menilai, dengan kenaikan ini maka situasi menjadi sangat ironis. Pasalnya, pemerintah tidak pro-poor terkait pembiayaan kesehatan di satu sisi, tetapi di sisi lain pemerintah juga memanfaatkan pajak yang besar dari para perokok yang merupakan salah satu penyebab beragam penyakit.

”Pemerintah mengambil manfaat pajak yang besar, sekitar Rp 132 triliun dari para perokok yang jelas-jelas merupakan faktor risiko utama penyakit jantung koroner, penyakit kanker paru, penyakit paru menahun, hipertensi, dan penyakit tidak menular lainnya,” jelasnya.

Karenanya, pemerintah seharusnya mengambil alokasi dari pajak rokok ini di kisaran antara 12-20 persen untuk program membantu perokok yang ingin berhenti merokok, mengurangi perokok remaja yang 9 persen, serta untuk membiayai program pencegahan dampak rokok terhadap kesehatan lainnya.

”Tentu saja, pemerintah harus menambah fasilitas layanan untuk mengurangi antrean, melakukan berbagai upaya untuk mengurangi peserta yang tidak aktif dan berupaya agar klaim dapat dibayarkan dengan lebih cepat,” lanjutnya.

Syahrizal juga menyampaikan bahwa kebijakan universal coverage sudah benar. Akan tetapi, hal tersebut masih perlu upaya perbaikan mutu layanan dan sikap nyata kebijakan pro rakyat dalam bidang kesehatan. ”Hidup sehat adalah hak warga negara dan anggaran kesehatan merupakan investasi sumber daya manusia Indonesia,” pungkasnya. (wh/nu online)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *