Mengawinkan Kaligrafi Dengan Filologi di Taman Mini

Mengawinkan Kaligrafi Dengan Filologi di Taman Mini
Mengawinkan Kaligrafi Dengan Filologi di Taman Mini. Foto/dok

Oleh Didin Sirojuddin AR

PERJALANAN paling mengasyikkan adalah “perjalanan sambil nengok kanan-kiri” :

Bacaan Lainnya
banner 400x400

 قل سيروافى الأرض فانظروا  (Katakan: “Berjalanlah di bumi, lalu lihatlah!”).

Hajinews.id – Seperti Safari Seni 170an santri Pesantren Kaligrafi Alquran Lemka ke Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Di anjungan Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal (BQ & MI), para santri yang lagi PPL Sejarah  menyaksikan dua dunia satu atap  yaitu tulisan/lukisan kaligrafi dari DUNIA SENI  dan naskah-naskah kuno dari DUNIA FILOLOGI. Mereka berniat melirikkan pandangan kepada keduanya. Sebab, kajian kaligrafi dan filologi, selama ini, seakan, “pisah ranjang”. Ada yang hanya kesengsem kaligrafi lantaran  lebih cantik dan komersil. Yang satunya seriuuuuuus sendirian, sehingga  kajian terhadap naskah-naskah Nusantara  didominasi para filolog — yang hanya mengkaji teks — bukan oleh kaligrafer dan peminat atau sejarawan seni.

“Kami ingin mengkombinasi keduanya,” kata seorang santriwati  Lemka yang saban hari tangannya belepotan karena  dipakai ngaduk cat.  Ia  mengibaratkannya dengan teknik mixed media atau media campuran oil painting   acrylic dalam lukisan. “Minyak dan air saja bisa dipersatukan dalam canvas. Gak seperti kata  Mansyur S penyanyi dangdut itu,” tambahnya sedikit berseloroh. Benar juga sich. Lha wong partai-partai politik yang berlawanan saja bisa berkoalisi.

Benar-benar asyiiiiik nih. Karya-karya kaligrafi di gedung buatan  Presiden Soeharto 1997 warisan Festival Istiqlal I & II (yang di situ saya ikut terlibat) ini menerangkan banyak hal: Teknik apresiasi dan variasi gaya para master khat dengan sederet nama para kaligrafer.  Informasi tentang perkakas tulis &  lukis, dan pelajaran yang dimulai dari rancang bangun desain dan teknik menggores kalam dan menorehkan kuas, sampai finishing touch melalui pertimbangan  unsur-unsur elemen rupa: unsur garis, bentuk, volume, cahaya, warna, tekstur, ruang, dan bidang. Mazhab-mazhab  Tradisional dan kontemporer. Karya-karya hasil MTQ Nasional (Naskah, Hiasan Mushaf, Dekorasi, dan Kontemporer) dan kompetisi di Islamic Art Festival. Banyak pula lukisan kaligrafi koleksi Lemka. Beberapa bahkan diterakan pada benda-benda tua seperti gerabah, kayu, kaca, dan kain tapis. Kanvaslah yang paling mendominasi, kebanyakan produk tahun 2000an.  Tampilan karya-karya ini seperti menelusuri zona waktu yang telah melahirkan keahlian dan  kebudayaan semesta:

الخط من الصناعات المدنية التى تقوى وتضعف بقوة الحضارة وضعفها.

 (“Kaligrafi adalah produk kemajuan yang menguat dan melemah karena kuat dan lemahnya   kebudayaan.”)

Pameran di BQ & MI didominasi oleh naskah-naskah Al-Qur’an & Tafsir berbentuk manuskrip & cetakan. Banyak pula manuskrip keagamaan bukan Al-Qur’an. Pendukungnya adalah karya-karya arsitektur, tekstil, nisan, seni rupa tradisional, seni rupa moderen, dan warisan budaya Islam (Islamic Heritage). Yang paling menarik adalah naskah-naskah Al-Qur’an tua dari abad 17-20 dan tulisan tangan Al-Qur’an moderen yang dipelopori oleh Mushaf Istiqlal (1991-1995), Mushaf Sundawi, Mushaf Jakarta, Mushaf Ibu Tien Soeharto, sampai Mushaf Al-Bantani. Mushaf-mushaf kuno ini hasil temuan yang arsipnya tersimpan dengan rapi di Bali, Ternate/Tidore, NTB, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Banten, Cirebon, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Arsip-arsip Al-Qur’an kuno ini dipercantik oleh arsip-arsip kuno non-Qur’an seperti Serat Raja-raja,  Serat Ambiya, Nasihat Bijak, Pelajaran Agama, dan Qaulul Haq atau Surat Perjanjian.  Perhatian tertuju pada rasam dan sisi visualnya, yaitu iluminasi dan kaligrafi yang jadi “makanan sehari-hari”  santri Lemka tapi kurang mendapat perhatian mendetail dari para peminat kajian naskah Nusantara. “Untuk zamannya, semuanya indah-indah, rrrrrrrrruar biasa,”  komentar para santri. “Dan Mushaf Istiqlal, ini dia maha karya putra-putri terbaik Indonesia, karena beriluminasi RAGAM HIAS NUSANTARA yang melibatkan desainer, para khattat kreatif (warraqun mubdi’un, الوراقون المبدعون), dan iluminator ahli.”  Nampak cahaya Islam tambah jelas via pancaran cahaya Al-Quran:

القرآن هوأول رافع لمناظرالخط العربى

 (“Al-Qur’an adalah yang pertama kali mengangkat mercusuar kaligrafi.”)

Seluruh KERJA KREATIF ini, sebagaimana dalam tradisi penyalinan mushaf dan teks-teks non-Qur’anis di Dunia Islam, masuk lingkup gerakan ilmiah dan kebudayaan mengiringi  pergerakan sejarah kebudayaan umat  manusia. WARRAQAH (الوراقة) atau “kegiatan penyalinan naskah: penulisannya, penyebarannya, editingnya, dan distribusinya” benar-benar jadi barokah  untuk para penulis (mencakup iluminator dan petugas pengEMASan), pasar kertas dan peralatan tulis seperti kalam khat, tinta dan wadahnya, penjilidan dan  penjual buku.

Setelah rehat dua jaman untuk menikmati pusat-pusat hiburan Taman Mini, para santri Lemka masuk Teater Imax Keong Emas untuk nonton film The Journey to Mecca, kisah sulitnya perjananan Ibnu Batutah yang harus bersabung nyawa untuk pergi haji. Nobar ini sebagai “praktik merasakan” sebagian dari naskah filologis  Ibnu Juza’i, Tuhfah  an-Nuzzar fi Gara’ib  al-Amshar wa ‘Aja’ib  al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan) atau yang lebih dikenal dengan kitab Al-Rihlah (journey, perjalanan) Ibnu Batutah. Hebat tidak? Ketika usia 21 tahun, Ibnu Batutah yang lahir di Marokko 25/2/1304 memulai perjalanan panjang yang mencakup 120.700 km² selama hampir 3 dasawarsa. Tiga kali lebih dahsyat daripada pengembara  Marcopolo! Ibnu Batutah berkelana dengan tujuan  untuk mengenal bangsa-bangsa baru dan bertemu banyak orang dari latarbelakang dan kebudayaan yang beragam. Karena terkagum-kagum dengan perjalanan pertamanya, ia bersumpah untuk mengunjungi sebanyak mungkin tempat yang dapat dikunjunginya selama hayatnya. Salah satunya Pulau Sumatera, yang disebutnya “Pulau Jawa yang menghijau”. Ibnu Batutah sampai di pelabuhan Kerajaan Samudera Pasai yang disebutnya “kota yang indah”.

Ya, seindah perjalanan menuntut ilmu dan seindah bisa menautkan studi  kaligrafi dengan filologi. Namun, pesan paling mengesankannya adalah: “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke Negeri Cina.”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *