Wah, Rasio Harga Rumah di Bandung Lebih Tinggi dari New York dan Tokyo, Ini Sebabnya

banner 400x400

Hajinews.id — Rasio harga rumah di Bandung terhadap pendapatan masyarakat ternyata lebih tinggi dibandingkan kota-kota besar di dunia semisal New York, Singapura, dan Tokyo. Hal ini membuat masyarakat berpenghasilan rendah kesulitan mengakses hunian.

Tingginya harga rumah yang tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan adalah salah satu masalah pelik yang dialami masyarakat Indonesia.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Bahkan, rasio harga rumah terhadap pendapatan masyarakat di sejumlah kota besar di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan kota-kota besar dunia.

Pernyataan tersebut mengacu pada Data Kondisi Perumahan Perkotaan 2020 dari Kementerian PPN/Bappenas.

 

Rasio Harga Rumah di Bandung Lebih Tinggi Dibanding New York.

Dilihat dari rasio harga rumah terhadap pendapatan, Kota Bandung meraih angka yang cukup tinggi.

Bisa dibilang, sebagian besar masyarakat cukup sulit menjangkau harga rumah di Bandung.

 

Melansir Bisnis.com, berikut adalah data rasio harga rumah terhadap pendapatan di beberapa kota di Indonesia:

Bandung 12,1

Denpasar 11,9

Jakarta 10,3

New York 5,7

Singapura 4,8

Tokyo-Yokohama 4,8

Angka di atas menggambarkan adanya kesenjangan yang cukup tinggi antara harga rumah dengan kemampuan masyarakat untuk membeli hunian.

Direktur Perumahan dan Permukiman Kementerian PPN/Bappenas, Tri Dewi Virgiyanti mengatakan, akibat dari tinggi harga rumah membuat sejumlah warga memilih rumah yang kualitasnya relatif rendah.

“Tingginya harga rumah ini menyebabkan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tidak bisa mengaksesnya sehingga muncul permukiman kumuh. Mereka cenderung memilih dan tinggal di rumah yang murah, over crowded, atau perumahan yang mungkin kualitasnya tidak baik,” ujarnya dalam Indonesia Housing Estate, dikutip dari Bisnis.com, Kamis (14/10/2021).

 

Masih Banyak Warga Tinggal di Daerah Kumuh

Virgi juga mengatakan bahwa jumlah warga yang tinggal di daerah kurang layak cukup banyak.

 

Menurut data yang diperolehnya, berikut adalah persentase rumah tangga yang tinggal di daerah kurang layak:

Rumah tangga yang tinggal di rumah tidak layak huni 36%

Rumah tangga perkotaan yang tinggal di wilayah terlalu padat 9,24%

Rumah tangga perkotaan yang tidak memiliki rumah sama sekali 24,52%

Rumah tangga yang tidak memiliki sanitasi layak 16,34%

“Satu dari lima penduduk di perkotaan tinggal di wilayah kumuh. Urban sprawl akibat pertumbuhan perumahan tanpa arah,” kata Virgi.

Sebagai informasi, urban sprawl adalah fenomena pertumbuhan kawasan perkotaan yang tidak terarah.

Salah satu faktor pemicunya adalah urbanisasi yang mengakibatkan ketimpangan penduduk yang terkonsentrasi di wilayah perkotaan.

Dampak lain dari fenomena urban sprawl, menurut Virgi, adalah ekonomi wilayah perkotaan yang sulit bertumbuh.

Kemudian, hal ini akan berujung pada pertumbuhan pemukiman yang berjalan tanpa arah.

Berkaca pada fakta ini, menurut Virgi, pembangunan Indonesia pada 2022 harus diarahkan pada peningkatan produktivitas dan kesejahteraan agar masyarakat dapat menjangkau perumahan yang layak.

“Kami juga fokus ke kelompok yang lebih besar tapi paling rentan menjangkau perumahan dan permukiman. Saya pikir kalau dibantu, perekonomian akan lebih baik,” ujar Virgi.(dbs)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *