Ancaman Resesi Datang 6 Bulan Lagi

Foto ilustrasi. (Ist)
banner 400x400

JAKARTA, hajinews.id – Penelitian dari MIT Sloan School of Management dan State Street Associates menyampaikan ancaman resesi belum akan sepenuhnya pergi di 2020 ini. Bahkan resesi kemungkinan besar akan terjadi di pertengahan tahun ini. Angka kemungkinan mencapai 70%.

Seperti dilansir dari CNBC International, (Jumat (7/2/2020), penelitian menggunakan pengukuran jarak mahalanobis, yang lazim dipakai guna menganalisa tengkorak manusia. Mahalanobis dipakai untuk menentukan bagaimana kondisi pasar saat ini dibandingkan dengan sebelumnya.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Dengan menggunakan prinsip ini, peneliti menganalisa empat faktor pasar. Yakni produksi industri, upah non pertanian, pengembalian pasar saham, dan imbal hasil. Analisa dilakukan setiap bulan. Mereka mengukur bagaimana hubungan antara empat faktor tersebut dengan sejarah masa lampau.

“Melihat data tahun 1916 (resesi pasca Perang Dunia I) para peneliti menyebutkan bahwa indeks dari keempat indikator resesi naik dari sebelumnya,” tulis CNBC. “Dari perhitungan yang dilakukan, akhirnya mereka mendapatkan hasil, indeks resesi mencapai 70%… dalam enam bulan ke depan.”

Meski demikian, sebenarnya sejumlah indikator ekonomi di AS masih baik-baik saja. Ekonomi AS misalnya tumbuh 2,1% pada kuartal-IV 2019 dan 2,3% selama setahun kemarin.

Ditandatanganinya kesepakatan dagang AS-China Januari lalu juga menimbulkan kepastian di pasar. Belum lagi data lokal AS, seperti gaji swasta yang naik bahkan tertinggi sejak Mei 2015.

“Latar belakang fundamental mendukung pandangan kami,” kata Kepala Strategis Ekuitas Global dan Eropa JP Morgan dalam sebuah catatan. “Pandangan kami tetap pada dasar tidak seharusnya kita mengharapkan resesi (terutama) menjelang Pemilu AS.”

Sementara itu ekonom senior Mari Elka Pangestu memprediksikan perekonomian global akan mengalami pemulihan sehingga membaik pada 2020, setelah tahun lalu terjadi perlemahan akibat adanya perang dagang antara AS dan China.

Direktur Pelaksana Kebijakan  Pembangunan dan Kemitraan Bank Dunia itu mengatakan perekonomian dunia mengalami masa-masa yang cukup sulit sepanjang 2019 hingga pertumbuhannya diproyeksikan di level 2,3 persen dan akan sedikit meningkat untuk tahun ini.

“Tahun lalu itu yang paling buruk sejak krisis ekonomi global. Diperkirakan 2020 akan sedikit membaik pertumbuhannya jadi estimasi Bank Dunia dari 2,3 persen tahun lalu menjadi 2,4 persen tahun ini,” ujar Mari di Jakarta, Senin (4/2/2020).

Mari menuturkan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan bersumber dari pemulihan di berbagai negara berkembang melalui perbaikan sektor perdagangan dan investasi yang tahun lalu sempat tertekan akibat perang dagang.

“Sumber dari pertumbuhannya sebagian besar dari pemulihan kembali negara-negara sedang berkembang. Justru negara maju sedikit turun dengan rata-rata dari 1,6 persen menjadi 1,4 persen,” jelas dia.

Di sisi lain, ia menyatakan tetap ada beberapa risiko yang diperkirakan akan terjadi pada tahun ini seperti kemungkinan perang dagang yang berlanjut meskipun telah ada kesepakatan perdagangan fase satu.

Berikutnya adalah utang besar yang dialami oleh banyak negara berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan yang menyebabkan capital outflow sehingga bagi negara berkembang harus tetap menjaga kepercayaan.

“Dikhawatirkan karena ada utang besar yang dialami oleh banyak negara jika ada ketidakpercayaan yang muncul karena satu hal yang lain maka itu bisa terjadi capital outflow,” katanya.

Kemudian terkait kekhawatiran yang muncul dari berbagai hal lain seperti geopolitik, virus corona, dan sebagainya. “Tiga ini yang diperkirakan pertumbuhan itu bisa menjadi lebih rendah dan ini hal-hal yang harus kita perhatikan,” tegasnya.

Oleh sebab itu, Mari mengimbau agar negara berkembang termasuk Indonesia harus terus mewaspadai dengan menyiapkan kebijakan, respon, dan antisipasi yang tepat.

Ia menyebutkan salah satu langkah yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan meningkatkan investasi swasta maupun pemerintah melalui belanja sehingga pertumbuhan ekonomi tetap terjaga. “Untuk menarik investasi diperlukan reformasi investasi dengan memperbaiki iklimnya,” ujarnya.

Tak hanya itu, pemerintah juga perlu untuk terus mendukung dan mengembangkan sektor lain seperti memperbaiki sistem pendidikan, melakukan inovasi dalam berbagai hal, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia.

“Belanja pemerintah harus lebih efektif dan mengatasi masalah produktivitas yang rendah dengan investasi ataupun mentargetkan isu-isu pendidikan, inovasi, dan human capital,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan sistem keuangan Indonesia masih tetap berkendali pada triwulan IV  tahun 2019 meski ekonomi global mengalami gejolak dan kondisi di dalam negeri menghadapi beberapa masalah pada lembaga jasa keuangan yang menjadi sorotan masyarakat.

“Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tetap mewaspadai potensi risiko yang berasal dari ekonomi global maupun yang berasal dari dalam negeri,” kata Sri Mulyani yang juga Ketua KSSK beberapa waktu lalu.

Penilaian tersebut disampaikan Sri Mulyani setelah KSSK melakukan rapat berkala pada Senin (20/1/2020) bersama anggota KSSK lain, di antaranya Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah.

Beberapa kondisi geopolitik, lanjut dia, masih perlu mendapat perhatian, termasuk kelanjutan keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit. Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani juga menyebutkan sejumlah perkembangan positif juga terjadi, di antaranya kemajuan perundingan perdagangan antara Amerika Serikat dan China.

Sri Mulyani menyatakan kesepakatan kedua ekonomi besar dunia itu turut mendorong ketidakpastian yang mereda yang berdampak menurunnya risiko di pasar keuangan global. Kondisi itu, lanjut dia, mendorong berlanjutnya aliran masuk modal asing ke negara berkembang, termasuk ke Indonesia.

Sementara itu dari sisi domestik, lanjut Sri Mulyani, perekonomian Indonesia tetap memiliki daya tahan antara lain dengan terjaganya pertumbuhan ekonomi RI yang ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan investasi khususnya di sektor bangunan. “Ekspor mulai meningkat meskipun kinerja investasi non bangunan masih perlu mendapat perhatian,” kata Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini. (rah/berbagai sumber)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *