Pembaharuan Pemikiran Islam: Perlunya Interpretasi terhadap Al-quran

Perlunya Interpretasi terhadap Al-quran
Hasanuddin (Ketua Umum PBHMI 2003-2005), Redaktur Pelaksana Hajinews.id

Oleh Hasanuddin (Ketua Umum PBHMI 2003-2005), Redaktur Pelaksana Hajinews.id

Hajinews.id – Sejak abad ke-15 telah muncul sejumlah pemikir yang mencoba melakukan pembaharuan pemikiran Islam. Tapi adakah yang telah sukses melakukannya? Nampaknya belum ada yang sukses melakukannya. Kenapa tidak ada yang sukses melakukan pembaharuan pemikiran Islam itu? Inilah pertanyaan yang cukup menggelitik kami, sehingga menulis catatan ini.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Pemikiran Islam tidak bisa dipisahkan dari Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebab itu siapapun yang mau mencoba melakukan pembaruan pemikiran Islam, mestilah kembali merujuk kepada dua sumber utama tersebut. Sebagaimana firman Allah SWT:

فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِيْٓ اُوْحِيَ اِلَيْكَۚ اِنَّكَ عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ

fastamsik billażī ūḥiya ilaīk, innaka ‘alā ṣirāṭim mustaqīm

Maka berpegang teguhlah engkau kepada (agama) yang telah diwahyukan kepadamu. Sungguh, engkau berada di jalan yang lurus. (Q.S Az-Zukhruf [43] : 43)

Dan sebagimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Aku tinggalkan bagi kalian (seluruh manusia) dua perkara, jika kalian berpegang teguh pada keduanya, niscaya kalian akan selamat, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah”.

Interpretasi terhadap Al-quran

Upaya menafsirkan Al-Qur’an guna menggali makna-makna yang terkandung di dalamnya, terus berlangsung. Namun tidak banyak yang sukses melakukannya. Hanya segelintir ulama yang mampu menghasilkan kitab tafsir dalam beberapa puluh tahun terakhir. Dan kitab-kitab tafsir yang dihasilkan pun, nampaknya belum sepenuhnya memenuhi tuntutan perubahan zaman.

Kenapa bisa demikian? Kami memperoleh semacam “firasat baik” di saat membaca surah Al-waqiyah ayat 77-80 berikut ini:

اِنَّهٗ لَقُرْاٰنٌ كَرِيْمٌۙ

innahū laqur’ānun karīm

“dan (ini) sesungguhnya Al-Qur’an yang sangat mulia” (Q.S Al-Waqi’ah [56] : 77)

فِيْ كِتٰبٍ مَّكْنُوْنٍۙ

fī kitābim maknūn

dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), (Q.S Al-Waqi’ah [56] : 78)

لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۗ

lā yamassuhū illal-muṭahharūn

tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan. (Q.S Al-Waqi’ah [56] : 79)

تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعٰلَمِيْنَ

tanzīlum mir rabbil-‘ālamīn

Diturunkan dari Tuhan seluruh alam. (Q.S Al-Waqi’ah [56] : 80)

Menurut kami inilah persyaratan yang tidak dipenuhi mereka yang mencoba melakukan pembaruan pemikiran Islam, dengan mencoba melakukan reinterpretasi terhadap Al-Qur’an.

Pada ayat 77, Allah SWT berfirman; “Dan (ini) sesungguhnya Al-Qur’an sangat mulia”. Dengan demikian pertama-tama yang mesti dilakukan jika ingin memahami Al-Qur’an itu adalah memperlakukan Al-quran itu dengan adab yang mulia. Dan orang yang memiliki kemuliaan adab itulah yang dapat menyentuh makna-makna atau kandungan Al-Qur’an itu. Ayat ke 78 dikatakan “dalam Kitab yang terpelihara ( Lauh Mahfudz)”. Tentu saja yang memeliharanya adalah Allah SWT. Sehingga akal yang sehat akan berkata, Mustahil seseorang itu dapat memahami Al-Qur’an, tanpa mengenal Allah SWT, atau tanpa Allah kehendaki untuk memberikan pemahaman. Sehingga orang yang akalnya sehat, tentu akan berusaha berma’rifah kepada Allah SWT, untuk memperoleh limpahan inayat dari Allah SWT dalam upayanya memahami Al-Qur’an ini.

Mengapa demikian karena sebagaimana ayat berikutnya (79), Allah SWT berfirman: “tidak ada yang (bisa) menyentuh (makna-makna Al-Quran) itu, selain hamba-hamba Allah yang (telah) di Sucikan”.

Tentu maksudnya, telah disucikan oleh Allah, karena hanya Allah Yang Maha Suci, lagi Maha Mensucikan.

Selanjutnya setelah Allah mensucikan hamba-Nya baru Allah menurunkan makna-makna (Al-Qur’an) tersebut. Sehingga kita bisa memahami bahwa makna-makna Al-Quran itu tidak dapat dipelajari dalam arti diusahakan untuk diketahui, namun hanya bisa dengan “diterima” sebagai anugerah dari Allah SWT, kepada mereka yang ber taqarrub kepada-Nya.

Tentu saja penilaian atas “orang yang tersucikan” sepenuhnya pada Allah, karena Allah sajalah Yang Maha Mengetahui.

Pandangan ini sekaligus membawa kita kepada pemahaman tentang fungsi akal. Bahwa akal itu sesungguhnya hanya menerima, atau hanya merespons objek yang sampai padanya saja. Dan tidak akan mampu merespon sesuatu yang tidak menyentuhnya.

Ini sebabnya meskipun para sarjana dewasa ini banyak yang menyerukan pembaharuan pemikiran Islam, dan merekomendasikan reinterpretasi terhadap Al-Qur’an, namun belum ada yang mampu memenuhi ekspektasi yang diharapkan. Akibatnya, meskipun kitab-kitab klasik dipandang tidak lagi aktual dengan zaman, namun keberadaannya senantiasa masih diapresiasi dengan sangat baik generasi dewasa ini karena, belum ada yang mampu menandingi karya-karya mereka. Sebenarnya persoalan bukan Kitab-kitab itu, masih aktual atau tidak aktual lagi, tapi para penulis kitab-kitab klasik itu, menulis apa yang dianugerahkan Allah kepada mereka, dan tidak menulis berdasarkan tuntunan hawa nafsu mereka. Sehingga menghasilkan karya-karya yang pengaruhnya bertahan lama hingga dewasa ini.

Juga bukan berarti kandungan Al-Qur’an itu telah habis digali ulama terdahulu, atau telah Allah berikan semua kepada umat terdahulu, tidak ! Sebab ilmu Allah itu Maha Luas. Sebagaimana Firman-Nya:

قُلْ لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمٰتِ رَبِّيْ لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ اَنْ تَنْفَدَ كَلِمٰتُ رَبِّيْ وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهٖ مَدَدًا

qul lau kānal-baḥru midādal likalimāti rabbī lanafidal-baḥru qabla an tanfada kalimātu rabbī wa lau ji’nā bimiṡlihī madadā

Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Q.S Al-Kahf [18] : 109)

Dengan demikian, kebutuhan manusia dalam menjawab tantangan peradabannya, termasuk kebutuhan umat Islam dalam menjawab tantangan peradaban Islam, kuncinya ada pada ulama atau ilmuwan-cendekiawan muslim yang mau secara sadar karena senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Agar Allah berkenan memberikan inayat-Nya, dengan menurunkan makna-makna Al-quran itu ke “dalam dadanya”.
Sebagaimana Firman-Nya:

اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهٗ وَقُرْاٰنَهٗۚ

inna ‘alainā jam‘ahū wa qur’ānah

Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya. (Q.S Al-Qiyamah [75] : 17)

Hanya kepada Allah SWT kita berserah diri, dalam segala keadaan, sesungguhnya kepada-Nya lah segala sesuatu akan dikembalikan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *