Hajinews.id – Lagi rame kan cryptocurrency, mata
uang kripto yang sangat berbeda dengan mata uang yang kita yakini setiap hari. Bedanya apa? Kalo mata uang fiat/kertas itu sifatnya sentralisasi, artinya terpusat, ada penjaminnya, dalam banyak kasus penjaminnya itu negara. Makanya di uang kertas ada kalimat “Uang ini sebagai alat pembayaran yang sah”, siapa yang mengesahkan? Ya negara. Kalo negara bilang ga berlaku gimana? Ya ga laku lagi, wong cuma kertas doang, nilainya 100 ribu di uang itu kan semu.
Bedanya dengan mata
uang kripto, sifatnya desentralisasi, ini kontra dengan yang sebelumnya. Ga ada penjamin pihak ketiga. Nilainya benar-benar ditentukan oleh mekanisme pasar
supply and demand. Ketika orang butuh, maka harganya naik berkali lipat, ketika ga butuh, harganya turun. Karenanya, di Indonesia ini mata
uang kripto semacam bitcoin dianggap sebagai komoditas yang diperjualbelikan, ya sejenis emas lah, cuma virtual.
Bentar dulu atuh sabar. Itu prolog intermezo aja untuk menyadarkan kembali dan mendefinisikan ulang tentang arti uang yang sebenarnya. Sistem desentralisasi ini, karena ga ada penjamin pihak ketiga maka yang menjaminnya adalah semua orang yang bergabung dalam jaringan tersebut.
Gini gw kasih contoh paling sederhana. Ada satu rumah yang dihuni oleh 5 orang. Kemudian keluarga tersebut beli apel 10, jeruk 20, semangka 3, pear 13, dimasukkan ke kulkas lalu dicatat semuanya dalam daftar yang ditempelkan di pintu kulkas. Di malam hari ada penghuni rumah yang berkhianat lalu mengambil buah pear 1 dan mengubah catatan di pintu kulkas. Hebatnya, catatan tersebut seakan ga ada perubahan sama sekali. Esok harinya, ga ada penghuni yang sadar bahwa catatan itu udah diubah. Karena semua orang mempercayakan ingatan mereka pada catatan di pintu kulkas. Inilah yang disebut dengan sistem sentralisasi, kelemahannya di sini.
Bedanya dengan sistem desentralisasi, seluruh buah itu dimasukkan ke kulkas tapi catatannya ga ditempel di pintu kulkas. Catatannya ditulis oleh masing-masing anggota keluarga dan dipegang. Jadi ada 5 catatan. Nah, ketika ada satu orang yang berkhianat lalu mengambil buah pear dan mengubah catatannya sendiri, esok harinya bakal ketauan karena 4 catatan lainnya berbeda dengan punya dia. Jadi, dalam sistem desentralisasi terdapat transparansi, traceability (keterlacakan), minim resiko di-hack atau keliru, meningkatkan kepercayaan para penggunanya. Ini sifat-sifat yang otomatis dimiliki sistem desentralisasi.
Nah sekarang kita masuk ke pembahasan. Hebatnya, di awal turunnya
Al-Quran, Rasulullah mengajarkan ayat yang turun dengan cara desentralisasi. Yaitu disimpan pada ingatan banyak sahabat, bukan dicatat, tapi diingat. Karena Al-Quran itu asal katanya dari
qa ra a –
yaq ra u –
qur anan. Artinya bacaan.
Jadi ketika ada sahabat yang lupa atau keliru, mereka bisa mengupgrade hafalannya ke sahabat yang lain sehingga kekeliruannya akan hilang secara otomatis karena diverifikasi oleh yang lain.
Banyaknya sahabat nabi yang menghafal
Al-Quran ini secara otomatis menjadi node-node yang terkumpul dalam satu jaringan
blockchain yang disebut dengan Penghafal
Al-Quran.
Ketika ada yang mau mengubah atau membuat ayat baru, maka akan langsung diketahui oleh node lain (sahabat nabi) dan dinyatakan bahwa itu adalah ayat palsu.
Sifat transparansi ini menyebabkan
Al-Quran susah dipalsukan. Sifat traceability (keterlacakan) ini menyebabkan
Al-Quran sulit untuk ditambahkan ayatnya atau pun dikurangi. Lalu dengan begitu, otomatis akan meningkatkan kepercayaan orang-orang yang mewariskannya.
“Lalu bagaimana dengan
Al-Quran yang dibakar karena tidak sesuai?” itu merupakan lembaran-lembaran dan dialek yang tidak sesuai standar, walaupun isinya sama. Kan di Indonesia juga ada bahasa jawa lembut, kasar, ngapak. Nah waktu itu disepakati menggunakan dialek Quraisy dan dibukukan hingga jadi
Mushaf Utsmani. Namun sekali lagi, ini pun sudah menjadi konsensus para node di jaringan
blockchain penghafal Al-Quran tadi. Dalam Islam, konsep seperti ini disebut dengan
mutawattir.
Ditambah, jaringan
blockchain para penghafal Al-Quran hari ini menjadi sangat besar. Maka sungguh sudah sangat mustahil bisa mengubah isi
Al-Quran, baik itu menambah ayat atau menguranginya. Kecuali orang tersebut bersusah payah mengubah seluruh ingatan dari seluruh node (para penghafal quran) dalam jaringan
blockchain tersebut.
Karenanya, mengingkari orisinalitas Al-Quran hingga hari ini, berarti mengingkari cara berpikir logis. Mengingkari sifat transparansi, traceability, trust yang dimiliki sistem desentralisasi seperti
blockchain. Padahal sifat-sifat tersebut adalah sebuah keniscayaan yang secara otomatis muncul akibat mekanisme sistem itu sendiri.
Meningkatnya kepercayaan terhadap
Al-Quran seharusnya otomatis muncul karena sama halnya dengan kasus catatan buah di pintu kulkas sebelumnya. Orang akan langsung percaya pada 4 catatan tersisa karena yang berubah hanya 1, dan ini sangat ilmiah juga empiris.
Terhadap 4 catatan saja kita langsung bisa membuktikan bahwa ini benar, apalagi terhadap jutaan orang yang memiliki catatan (hafalan)
Al-Quran yang sama dari ribuan tahun yang lalu dan dari berbagai belahan dunia tanpa kurang satu huruf pun hingga hari ini.
Anggap aja gambar di bawaah ini adalah jaringan desentralisasi dari para penghafal
Al-Quran.
Blockchain atau semula dieja block chain (Rantai blok), merupakan sebuah buku besar digital terdesentralisasi, terdistribusi dan bersifat publik yang dimanfaatkan untuk mencatat transaksi pada banyak komputer sehingga catatan tersebut tidak dapat diubah secara retroaktif tanpa mengubah seluruh blok setelahnya serta konsensus dalam jaringan. Dengan demikian memungkinkan para peserta untuk memverifikasi dan mengaudit transaksi dengan mudah.
Blockchain dirancang dari awal agar aman (
secure by design) dan merupakan contoh sistem komputasi terdistribusi dengan Byzantine Fault Tolerance (BFT) yang tinggi. Konsensus terdesentralisasi dapat dicapai dengan
blockchain. Hal ini membuat rantai blok cocok untuk merekam peristiwa, catatan medis, dan aktivitas pengelolaan record lainnya, seperti manajemen identitas, pemrosesan transaksi, dokumentasi barang bukti, ketertelusuran makanan (food traceability), dan pemungutan suara (voting).
Blockchain diciptakan oleh Satoshi Nakamoto pada tahun 2008 dan dimanfaatkan sebagai buku besar untuk transaksi publik mata
uang kripto bitcoin. Penemuan
blockchain untuk bitcoin menjadikannya mata uang digital pertama yang dapat mengatasi masalah double-spending tanpa memerlukan otoritas tepercaya atau peladen pusat. Desain bitcoin ini juga telah mengilhami aplikasi-aplikasi lain.