Telak! Pakar: Pemilu 2024 Tak Realistis dan Terkesan Trial and Error

Petugas merapikan kotak suara dari kardus Pemilu Bupati Bandung 2020 di Gudang Logistik KPU Kabupaten Bandung, Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (8/11/2020). Sebanyak 6.874 kotak suara dan 13.748 tinta sidik jari siap didistribusikan ke tiap TPS dari 31 kecamatan di Kabupaten Bandung untuk pelaksanaan Pilkada Kabupaten Bandung 2020. ANTARA FOTO/Novrian Arbi/foc.
banner 400x400

Jakarta, Hajinews.id — Pengamat politik LIPI Siti Zuhro berpendapat, tidak realistis jika memaksakan pemilu nasional dan pilkada dilakukan serentak pada 2024. Berkaca dari pengalaman Pemilu 2019 yang hanya 5 kotak, kata dia, dampak terlalu besar terhadap bangsa dan negara.

“Pemilu dan pilkada tak seharusnya disatukan menjadi pemilu borongan 2024. Mengapa? Selain hal itu tidak realistis, juga terkesan trial and error yang tak mempertimbangkan dampak-dampak negatif pemilu serentak 2019 dan pilkada serentak yang digelar sejak 2015,” ujar Siti dalam diskusi virtual oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dilansir Beritasatu, Minggu (7/2/2021).

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Selain itu, kata Siti, jika pemilu dan pilkada disatukan tahun 2024, maka hal tersebut bertentangan dengan mindset dan cultural set new normal. Menurut Siti, para pengambil kebijakan harus memikirkan desain penyelenggaraan pemilu di tengah pandemi Covid-19 yang belum pasti kapan berakhirnya.

“Karena itu, cara berpikirnya jangan seperti dalam keadaan sebelum pandemi, harus masuk dalam mindset dan cultural set new normal yang mensyaratkan design pemilu/pilkada yang rasional, berkualitas dan berdampak positif terhadap governance sehingga tak menimbulkan bad governance atau divided government,” kata dia.

Situ juga mengatakan, mendesain pemilu dan pilkada perlu mempertimbangkan filosofi, teks, dan konteks Indonesia. Pemilu/pilkada, kata dia, tak boleh sekadar mengedepankan keserentakannya saja, tapi juga kualitasnya.

“Contohnya, asumsi-asumsi positif dalam pemilu serentak 2019 dan alasan efisiensi tidak terbukti. Uji coba desain pemilu/pilkada tak hanya tak menguntungkan tapi membuat Indonesia merugi karena roadmap yang terbangun acak dan tidak terukur,” jelas dia.

Situ pun merekomendasikan pemilu borongan 2024 harus dihindari. Dia mengusulkan pemilu presiden didadulukan sebelum pemilu legislatif dengan PT pilpres nol. Jika pun ada PT untuk pilpres, kata dia, harus sekecil mungkin dan parpol yang memiliki kursi di DPR dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Sementara pilkada serentak dilaksanakan sesuai dengan jadwal yaitu tahun 2022 untuk 101 daerah dan tahun 2023 untuk 170 daerah. Bisa juga dipertimbangkan Pilkada 2023 untuk disatukan ke pilkada serentak 2022 sehingga jumlahnya menjadi 271 daerah,” kata dia.

Menurut Siti, memang perlu jeda menjelang Pilpres dan Pileg 2024 agar semua proses tahapan lebih rapi disiapkan sampai terjadinya pencoblosan dan pengumuman hasilnya. Karena itu, penyatuan Pilkada 2022 dan Pilkada 2023 merupakan salah satu solusi yang perlu dipertimbangkan.

“Karena itu tahun 2023 tak perlu ada pilkada serentak. Artinya, fokus dan energi stakeholders terkait pemilu lebih ke persiapan pilpres dan pileg 2024,” kata Siti.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *