KSPI Soroti Tak Ada Kepastian Kerja Pada RUU Cipta Kerja

Said Iqbal. (Foto: Antara)
banner 400x400

JAKARTA, hajinews.id – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyoroti tidak ada kepastian kerja dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja. Menurut dia, adanya RUU ini nanti akan membuat praktik alih daya dilakukan secara bebas, tanpa adanya batasan waktu.

Said mengatakan RUU tersebut dikhawatirkan akan semakin banyak Tenaga Kerja Asing (TKA) yang masuk dan bekerja di berbagai sektor. Pasalnya, dalam RUU tersebut tak ada lagi kewajiban bagi pemberi kerja untuk memiliki izin tertulis untuk mempekerjakan TKA. “Padahal, sebelumnya, selain membuat rencana penggunaan TKA, juga wajib mendapatkan izin tertulis untuk mendapatkan izin kerja,” kata Said di Jakarta, Ahad (16/2/2020).

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Said menyebutkan bahwa dalam RUU tersebut membolehkan TKA bekerja pada bidang kegiatan pemeliharaan mesin produksi untuk keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu, bebas masuk ke Indonesia.

Selain itu, TKA boleh menjabat sebagai anggota direksi atau anggota dewan komisaris dengan kepemilikan saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Tenaga asing yang bekerja di Indonesia juga tidak perlu memiliki kualifikasi memiliki pengetahuan, keahlian, keterampilan di bidang tertentu, dan pemahaman budaya Indonesia,” tegasnya.

Dengan kata lain, katanya, tidak ada lagi kewajiban bagi TKA untuk bisa berbahasa Indonesia. Hal itu, kata Iqbal, akan menyulitkan dalam transfer pengetahuan dan keahlian.

Sebelumnya, pemerintah menyerahkan draf RUU tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Penyerahan draf tersebut mengundang reaksi keras dari para buruh yang menilai RUU tersebut berpihak pada pengusaha.

Sementara itu pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mendesak pemerintah membahas ulang Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (kini berubah menjadi Cipta Kerja). Bivitri mengatakan draf omnibus law itu memuat kesalahan paradigmatik yang berpotensi menabrak sistem hukum dan perundangan di Indonesia.

“RUU ini harusnya ditarik lagi dan dibahas ulang secara menyeluruh, partisipatif, dan terbuka. Jangan terburu-buru dibahas sekarang,” kata Bivitri seperti dikutip dari Tempo, Ahad (16/2/2020).

Dia menyebutkan salah satu yang disorot para pakar hukum ialah Pasal 170 dalam draf UU Cipta Kerja. Pasal itu mengatur bahwa pemerintah dapat mengubah ketentuan dalam UU Cipta Kerja (jika sudah disahkan) dan ketentuan lainnya yang tak ada dalam UU itu melalui peraturan pemerintah (PP).

Dalam merevisi ketentuan UU, pemerintah dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal, Pasal 20 UUD 1945 mengatur bahwa kekuasaan membentuk UU ada pada Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20 ayat (2) menetapkan bahwa setiap rancangan UU dibahas bersama-sama oleh pemerintah dan DPR.(rah/berbagai sumber)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *