Wajib Tahu! Ternyata Buraq Tidak Melaju dengan Kecepatan Cahaya!

Buraq Tidak Melaju dengan Kecepatan Cahaya
Buraq Tidak Melaju dengan Kecepatan Cahaya
Hajinews.id – Dekan MIPA ITB Prof Ir Wahyu Srigutomo MSi PhD mengungkap keterbatasan logika sains dan kaum Quraisy dalam memahami Isra Mikraj. Sebelumnya, dia mengkaji fenomena setelah Isra Mikraj.

Nabi bersifat tabligh sebagai pembawa risalah berniat menyampaikan berita agung kepada kaum Quraisy. “Beliau sadar ini berisiko. Risiko penolakan (dan) cercaan tidak masuk akal, gila, dusta,” paparnya dalam Pengajian Virtual Orbit binaan Prof KH M Din Syamsuddin MA PhD, Kamis (24/2/22) malam.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Tapi Ummu Hani RA (putri Abu Thalib) menyarankan Muhammad tidak menyampaikan berita Isra Mikraj ke kaum Quraisy. Dia khawatir respon kaum itu membuat Muhammad kecewa. Dengan keteguhannya, Rasulullah menjawab, “Wa Allahi, aku tetap menyampaikan!”

Respon Berita Isra Mikraj

Dalam ruang Zoom itu, Prof Wahyu mengungkap, dugaan Ummu Hani benar. Kaum Quraisy memperolok Nabi, mencapnya sebagai pendusta, dan mengklaim perjalanannya tak mungkin.

Respon itu jauh berbeda ketika Nabi Muhammad Saw menceritakan berita Isra Mikraj kepada Abu Bakar. Sang sahabat menjawab, “Kamu benar, engkau adalah Rasulullah. Aku meyakinimu.” Sejak itulah dia mendapat predikat Ash-Shiddiq.

Sementara itu, sebagian orang yang beriman lemah kembali murtad setelah mendengar berita Isra Mikraj. Prof Wahyu memandang ini menguntungkan.

“Adanya filter kualitas pengikut Nabi Muhammad SAW. Yang kuat, setia, yakin dengan kekuasaan Allah, maka dia akan mengimani Rasul SAW dengan beritanya,” ujar mantan Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Bandung itu.

Logika Sains dan Kaum Quraisy

Berdasarkan tinjauan Sains dengan segala keterbatasannya, menurut Prof Wahyu, logika yang membuat kaum Quraisy ragu bisa dimaklumi. Sains modern belum bisa menjelaskan perjalanan Nabi menembus langit ketujuh hanya dalam semalam.

Sains—Fisika dan Astronomi—menjelaskan alam semesta ini berusia 13,77 miliar tahun. Sedangkan usia sistem tata surya—termasuk bumi—mencapai 4,57 miliar tahun. Diameter alam semesta 93 miliar tahun cahaya.

Prof Wahyu mengungkap, data itu didapat berdasarkan jejak foton yang bisa dilacak ilmu pengetahuan. Yaitu dengan observasi, perumusan matematik, dan pemodelan.

Diketahui, dameter bumi 12.427 kilometer dan satu detik cahaya (foton) menempuh jarak 300.000 kilometer. Maka sebatas pemahaman teknologi terkini, satu tahun cahaya menempuh 94.000.000.000.000 (94 tera) kilometer.

Relativitas Waktu di Al-Quran

Dalam kontes tersebut, sambung Prof Wahyu, isyarat relativitas waktu sebenarnya sudah ada dalam al-Quran. Dia menukil al-Hajj ayat 47, “Satu hari di sisi Tuhannya—di alam langit yang mulia—seperti seribu tahun di bumi.”

Demikian pula pada al-Maarij ayat 4. Diketahui satu hari di sisiNya sama dengan 50 ribu tahun di dunia. “Konsep dilatasi waktu Einstein berlaku di sini,” imbuhnya.

Maka Prof Wahyu menyimpulkan, ayat Quran tersebut megisyaratkan waktu tidak absolut, melainkan relatif. Sebab, bergantung siapa yang sedang mengalami proses dinamisnya. Pelajarannya, sambungnya, betapa panjangnya kehidupan di akhirat kalau dibandingkan dengan kehidupan di dunia.

Sebetulnya, menurut Prof Wahyu, kita bisa menjawab keraguan kaum Quraisy terhadap fenomena ini. “Allahlah yang menciptakan waktu dan ruang. Allahlah yang bisa mengaturnya kapan bisa berlaku seperti itu,” tegasnya.

Teori Relativitas Khusus Einstein

Prof Wahyu lanjut menerangkan teori Relativitas Khusus Einstein. “Kecepatan mempengaruhi waktu, ruang, dan massa,” ujar mantan Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Bandung itu

Dia mencontohkan, ketika seseorang bergerak dengan kecepatan tertentu, sambil memperhatikan jam saat bergerak, maka jam terlihat lamban. Ruang akan berkontraksi (memendek), apalagi kalau kecepatannya mendekati kecepatan cahaya.

Semesta memiliki batas kecepatan. Dalam dunia fisik yang kita pahami, sambungnya, sebetulnya kecepatan semesta terbatas sampai di kecepatan cahaya.

“Tak ada kecepatan yang lebih cepat dari ini,” tegas dia, lalu melanjutkan, “Bahkan ini ditempuh foton yang tak bermassa. Untuk benda bermassa, selalu di bawah kecepatan cahaya sebetulnya.”

Kalau itu dilanggar—seperti halnya kecepatan perjalanan Isra Mikraj—dalam ilmu Fisika sekarang masih tidak mungkin. “Kalau ada suatu benda berkecepatan cahaya, maka mungkin benda tersebut menjadi sangat berat, besar, masif, dan perlu energi tak bertingkat untuk mendorongnya bergerak,” terangnya.

Selain itu Einstein juga menyatakan gravitasi melengkungkan ruang dan waktu. “Waktu berjalan lambat dengan objek masif,” ungkapnya.

Buraq

Apakah Buraq melaju dengan kecepatan cahaya? Dengan tegas, Prof Wahyu menjawab pertanyaan retoriknya.

“Jika yang dimaksud kecepatan cahaya fisis (foton), maka jawabannya tidak. Artinya, cahaya itu kurang cepat. Meskipun pengertian Buraq adalah kilatan cahaya atau halilintar,” jawabnya.

Dia lantas mengajak untuk mencek bagaimana jika menganggap perjalanan kosmik Nabi melewati langit dengan sistem galaksi, langit ketujuh itu beyond semesta.

“Misal jarak ke bintang terdekat (Proxima Centauri) harus menempuh jarak 4,246 tahun cahaya. Maka waktu cahaya pulang-pergi Bumi-Proxima Centauri adalah 8,5 tahun,” ungkapnya.

Jika Sidratul Muntaha lebih jauh dan tinggi dari jangkauan semesta terukur, lanjut Prof Wahyu, maka kecepatan cahaya tentu sangat tidak memadai.

“Karena hukum-hukum alamiah yang berlaku bagi makhluk-Nya adalah juga atas kekuasaanNya, mudahlah bagiNya untuk mengubah hukum-hukum tersebut sesuai tujuan tertentu Allah!” (*)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *