Tanggapi Isu Pemilu 2024, Sekum Muhammadiyah: Indonesia di Era Peralihan Demokrasi ke Typokrasi

Jakarta, Hajinews.id — Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti mengkritisi munculnya wacana penundaan pemilihan umum (pemilu) 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden. Dia menilai munculnya wacana ini menunjukkan gagalnya sistem demokrasi di Indonesia dan menuju sistem typokrasi.

Abdul Muti menyatakan menghadirkan istilah baru typokrasi mengingat selama ini telah banyak istilah yang menggambarkan bagaimana suatu sistem demokrasi mulai gagal, seperti kehadiran plutokrasi, kleptokrasi, hingga timokrasi di pemerintahan Indonesia masa lampau.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Yang sekarang ini terjadi gejala typokrasi, typo itu kita kalau ngetik salah-salah. Itu jadi suatu pemerintah di mana pemimpinanya itu suka typo-typo saja, tipu-tipu saja,” kata Abdul dalam diskusi virtual bertajuk ‘Telaah Kritis Usul Perpanjangan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden’, Rabu, 9 Maret 2022.

Dia menilai gejala typokrasi bisa dilihat dengan rendahnya kepercayaan publik terhadap para pejabat, termasuk terhadap politikus. Bahkan dia menduga adanya rasa tidak percaya tersebut semakin meluas.

“Makanya kemudian politik yang punya arti yang sangat mulia, politik itu artinya keadaban, keluhuran, penyelenggaran negara, tapi yang terjadi dimaknai sudah pol masih bisa diutak-atik. Disebut kenapa Presiden 2 periode kemudian masih bisa diutak-atik,” kata dia.

Abdul Mu’ti pun menyinggung pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang menyatakan bahwa siapa pun boleh memberikan ide soal penundaan pemilu asalkan jika tunduk dan taat pada konstitusi.

“Sehingga, oke dua periode asalkan konstitusional tapi kemudian ada ruang konstitusi itu diamandemen. Jadi masih bisa itu diutak-atik, tapi saya mengajak untuk kembali pada semangat penjelasan UUD 1945,” kata dia.

Dia menambahkan, kegagalan sistem demokrasi di Indonesia juga bisa dilihat dari indeks demokrasi yang bukannya meningkat, tapi justru menurun. Dia melihat penurunan indieks itu disebabkan mulai tertutupnya kebebasan berpendapat dan menurunnya partisipasi publik.

“Nah dua hal itu memang sekarang menjadi sesuatu yang sangat mewah. Karena orang bebas berbicara tapi setelah itu berperkara, jangankan bicara di ruang publik, di ruang privat saja itu kena UU ITE, jadi sekarang orang lebih baik diam daripada keliru,” ucap dia

Soal partisipasi publik yang rendah, pria yang telah puluhan tahun berkecimpung di Muhammadiyah itu menilai bisa dilihat dari pembuatan kebijakan dan undang-udang. Dia menilai banyak undang-undang yang disusun secara sembunyi-sembunyi atau hanya untuk memenuhi persyaratan formalitas tanpa memikirkan subtansi.

“Atau masyarakat tak hirau karena berpikiran saya bicara apa juga tidak ada efeknya dan lebih baik saya mengurusi apa yang menjadi kebutuhan saya. Hadi apatisme publik seperti ini menurut saya juga menjadi realitas baru yang berkontribusi kenapa indeks demokrasi kita turun,” ungkapnya.

Sebelumnya isu penundaan pemilu 2024 dikumandangkan oleh sejumlah ketua umum partai politik koalisi pemerintah. Muhaimin Iskandar (PKB), Airlangga Hartarto (Golkar) dan Zulkifli Hasan (PAN) menjadi pendukung isu tersebut.

Meskipun demikian, suara pihak yang menolak jauh lebih besar. Mulai dari akademisi, tokoh politik hingga masyarakat tetap menginginkan agar Pemilu 2024 tetap digelar. Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi masyarakat yang menolak wacana penundaan pemilu 2024.(dbs)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *