Perlu Ada Perbaikan, Muhammadiyah Menilai Sistem Ketatanegaraan RI Rawan Penyimpangan

Sistem Ketatanegaraan RI
Ahli Hukum Tata Negara Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie
Hajinews.id PP Muhammadiyah menilai, ada gejala deviasi hingga distruksi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini. Karena itu, sistem ketatanegaraan butuh perbaikan serius.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti menyebut, masih banyak yang perlu dikaji dalam sistem ketatanegaraan Tanah Air. Dari sistem presidensial, sistem pemilu, sistem otonomi daerah, hingga berbagai lembaga.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

“Memang setelah dievaluasi terjadi overlapping yang membuat penyelenggaraan negara tidak efektif. Berbagai sistem yang sekarang berjalan memang perlu untuk dikaji ulang eksistensinya. Terutama yang memang berpotensi untuk menimbulkan berbagai permasalahan,” tuturnya.

Hal itu disampaikannya dalam Seminar Pra Muhtamar Muhammadiyah Aisyiyah ke-48 bertajuk ‘Rekonstruksi Sistem Ketatanegaraan Indonesia’ di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dikutip Kamis (17/3).

Mu’ti mengkritisi pelaksanaan sistem presidensial, di mana, presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintah. Juga, sistem parlemen tentang kondisi ideal peranan DPR dan DPD.

Banyak kajian yang menemukan, DPD tidak begitu efektif sebagai sebuah lembaga negara. Kewenangan konstitusional DPD, seharusnya bisa diperkuat lagi.

Kemudian, Mu’ti juga menyoroti DPD yang ternyata juga banyak yang diusung partai politik (parpol). “Walaupun dia bukan representasi partai politik, tapi yang mengusungnya parpol, misalnya begitu,” bebernya.

Dalam acara tersebut, Ahli Hukum Tata Negara Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie mengatakan, saat ini dibutuhkan rekonstruksi sistem ketatanegaraan, serta strategi pembangunan sistem hukum dan politik di Indonesia. “Perlu adanya penataan dalam institusi negara,” jelasnya.

Jimly menuturkan, sistem konstitusi Indonesia mengalami pembaruan dan perkembangan yang mendasar. Namun problematika warisan budaya masa lampau belum mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman modern.

Warisan budaya feodal, katanya, masih sangat dominan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara. Problem warisan budaya feodal yang terus dominan pengaruhnya dalam politik dengan mudah mempengaruhi terbentuknya sistem dinasti dalam politik nasional dan daerah di seluruh Indonesia.

Kendala lainnya, makin kuatnya pengaruh modal. Sebab, ada fenomena ongkos politik yang semakin mahal biayanya. Dampaknya, dunia usaha semakin dominan pengaruhnya dalam proses-proses demokrasi politik bernegara.

“Sehingga konflik kepentingan antara bisnis dan politik terus berkembang luas dalam praktik,” tutur mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *