Indra Keberagamaan (27)

mengenal huruf
mengenal huruf

Oleh: Hamdan Juhannis

Hajinews.id – Ada masukan dengan celoteh kemarin, kritik ringan tetapi sangat mengena. Masalah cara menulis sebuah kata yang salah karena kelebihan huruf, kata “melantunkan” saya tulis “melantungkan”,  kelebihan huruf: G.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Kritikan itu dibalut dengan canda.  Seorang teman dekat, mengomentari, “ada kelebihannya ini tulisan, kelebihan huruf G.” Ada yang meledek singkat: “ManGtap”. Yang lain merespon dengan filosofis, “itulah khasanah kehidupan, ada yang kekurangan dan ada yang kelebihan, demikian pula dengan tulisan.” Bahkan seorang sahabat Professor dari Semarang, mencandai kelebihan huruf ini dengan menuliskan, “Saya yakin sepenuhnya bahwa pak HJ pasti berasal dari Sulawesi Selatan.”

Sejujurnya, begitu banyak kata yang saya tidak tahu persis menuliskannya, bukan hanya “lantun”. Begitu banyak kata lain yang berakhiran “n”, “a”,  “g” ,”t”, dan “k”,  yang selalu menimbulkan keraguan, apakah berakhiran “n” atau “ng”. Yang berakhiran “a” apakah ada “h” atau tidak. Apakah kata tertentu berakhiran “k” atau “t”. Orang Makassar sering menyebut mereka yang mengalami masalah seperti ini dengan istilah: “okkots”.

Begitu mudah saya menjustifikasi kekurangan yang saya lakukan ini. Pertama, saya baru belajar bahasa Indonesia nanti saat kelas 3 di SD. Saya baru bisa berbincang dengan Bahasa Indonesia saat masuk di sekolah lanjutan pertama. Kedua, masalah “okkots” yang saya alami tidak terlepas dari cara bertuturnya suku saya, Bugis, yang aksaranya tidak mengenal huruf mati.

Efeknya, kami belajar keras untuk mengucapkan huruf mati di akhir sebuah kata dengan tepat. Sebagai pembanding, silakan mendengar orang Vietnam atau orang Jepang berbahasa Inggeris, anda akan memahami argumen saya. Berbeda tentunya sekiranya dari kecil saya belajar berbicara dalam Bahasa Indonesia, atau hidup di kota yang tidak tersentuh oleh pengaruh bahasa lokal saya.

Tapi yang ingin saya bentangkan adalah kesalahan menulis “lantung” yang seharusnya “lantun” adalah pelajaran kecil tapi bermakna. Manusia setiap saat bisa membuat kesalahan yang sejatinya juga menjadi peringatan baginya. Baru beberapa hari lalu, saya mendapat pujian dari seorang teman yang menganggap saya fokus dalam menulis celoteh karena bisa menghindari banyak kesalahan mengetik atau “typo” termasuk kesalahan khas orang Makassar dalam menulis kata.  Pujian itu saya nikmati betul dan menimbulkan rasa menyukai diri, atau lebih lugasnya, rasa sombong. Saya tiba-tiba merasa sombong sudah memiliki kemampuan melepaskan diri dari jeratan “okkots”.

Rupanya tidak butuh beberapa lama untuk ditunjukkan kembali melalui masukan pembaca bahwa saya tidak bisa melepaskan diri dari takdir “okkots”. Belum lagi teman-teman Montreallers (eks penduduk Kota Montreal) yang juga dengan penuh canda mengajarkan saya tata bahasa pada celoteh saya yang lain; “merubah” asal katanya “ubah” yang ditimpali oleh yang lain, bahwa kalau asal katanya “rubah” itu nama binatang. Jadi yang benar adalah “mengubah”. Artinya, sungguh banyak kesalahan, dan itu sifat dasar manusia sebagai tempatnya khilaf, karenanya jangan pernah ada upaya setitik pun untuk bersombong-ria, pada hal yang kecil sekalipun.

Yah, sambil menjadikannya pelajaran, saya merespon semua kritik itu dengan canda juga. Anggaplah itu sebagai kekhasan orang Makassar yang patut diapresiasi dan dipelihara. Anggaplah bagian dari kekayaan berbahasa kita sebagai bangsa besar. Terimalah kalau itu adalah wujud dari “takdir berbahasa”, bukan semata karena “salah ucat”,  maksud saya, “salah omon”, eh salah lagi!

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *