Masjid Yang Hilang Di Tanah Seberang

Masjid Yang Hilang
Masjid Yang Hilang
banner 400x400

Oleh: Uttiek Herlambang

Hajinews.id – “Indonesian preacher Abdul Somad Batubara, known for ‘extremist and segregationist’ teachings, denied entry into Singapore: MHA,” kalimat itu dirilis Channel News Asia yang berbasis di Singapura.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Media lainnya, the Straits Times menulis serupa dengan mengutip keterangan dari Kementerian Dalam Negeri. “Indonesian preacher denied entry into Singapore due to his extremist and segregationist teachings: MHA.”

Tak hanya di Indonesia, kabar penolakan kedatangan UAS juga ramai di media Singapura. Tentu dengan narasi dan sudut pandang yang berbeda.

Pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Singapura merespons penolakan yang dilakukan keimigrasian (Immigration and Checkpoints Authority/ICA) Singapura atas kedatangan Ustaz Abdul Somad.

KBRI Singapura telah mengirimkan Nota Diplomatik kepada Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Singapura untuk mendapatkan klarifikasi lebih lanjut perihal kejadian tersebut. [Republika, 17/5].

Saat ini, jumlah penduduk Muslim di Singapura 15,6 persen dari keseluruhan populasi. Mayoritas berasal dari etnis Melayu, sementara 13 persen di antaranya adalah komunitas Muslim India.

Jumlah itu membuat Muslim menjadi minoritas. Padahal selama berabad wilayah tersebut pernah berada dalam kekuasaan Islam melalui Kesultanan Malaka.

Raja Parameswara mendirikan wilayah perdagangan dengan bandar-bandar yang ramai dikunjungi para pedagang Muslim pada abad ke-15. Pada periode inilah, Islam berkembang dengan pesat. Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, dakwah Islam terhenti.

Perlahan tapi pasti kumandang adzan mulai surut dari langit Singapura seiring dengan hilangnya satu per satu masjid di sana.

“Pada waktu itu masjid-masjid umumnya didirikan di sepanjang wilayah pesisir dan tepian sungai. Ada juga masjid yang di pedalaman, tetapi lebih sedikit jumlahnya daripada yang di pesisir,” jelas peneliti warisan independen, Sarafian Salleh, yang meneliti tentang masjid-masjid yang hilang di Singapura.

Seorang Muslim Singapura lainnya bernama Zaini Kassim (56) bersama komunitasnya membuat gerakan mendokumentasikan masjid-masjid yang hilang. Mereka memulainya di tahun 1980-an.

Zaini memulainya dengan membuat dokumentasi foto tatkala menyadari banyaknya “masjid kampung” yang perlahan lenyap.

Masjid-masjid tua di Singapura umumnya dilengkapi instrumen tabuh-tabuhan yang disebut bedok dan kentong, yang dibunyikan untuk memanggil shalat lima waktu. Sama dengan yang ada di Indonesia atau Malaysia.

Zaini mencatat, beberapa masjid yang telah menjadi catatan sejarah itu di antaranya adalah Masjid Omar Kampong Melaka, yang dibangun pada tahun 1820 oleh dermawan Arab Syed Omar Aljunied.

Masjid itu juga dikenal sebagai masjid tertua di Singapura, karena masjid-masjid yang didirikan pada masa Kerajaan Malaka telah hilang dari sejarah.

Lalu ada Masjid Haji Osman di Seranggong Kechil atau yang sekarang daerah itu bernama Serangoon, dan Masjid Wak Sumang di Kampong Punggol yang sekarang disebut Punggol Point. Kampong Punggol merupakan salah satu pemukiman paling awal sebelum kedatangan Stamford Raffles.

Pada periode yang lebih modern lagi ada Masjid Paya Goyang dan Angullia Park di lepas Orchard Road, Masjid Aminah di Geylang, Masjid Kampong Holland, yang ditutup pada 2014.

Data resmi Pemerintah Singapura menyebutkan kalau saat ini ada 72 masjid yang hampir semuanya dikelola oleh Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS) atau The Islamic Religious Council of Singapore.

Sikap apriori pemerintah Singapura terhadap Islam tentu tidak terjadi tiba-tiba, namun perlahan seiring surutnya suara adzan dari masjid-masjid yang hilang.

Ini menjadi pelajaran berharga, jangan sampai hal serupa terjadi di negeri tercinta.

Jakarta, 18/5/2022

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *