Perspektif Pemberian Gelar Haji: Keagamaan, Kultural, dan Kolonial

Pemberian Gelar Haji
Pemberian Gelar Haji
banner 400x400

Oleh: Naufal Ridhwan Aly

Hajinews.id – Sejak ratusan tahun silam, umat Islam di Indonesia berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Mereka pulang menyandang gelar haji. Orang-orang mulai membuat perubahan sapaan dan penulisan nama demi kepatutan sosial dan imaji kesalehan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Perspektif Keagamaan

Tradisi penyematan gelar haji dapat dilihat dari tiga perspektif. Pertama, secara keagamaan. Haji adalah perjalanan untuk menyempurnakan rukun Islam.

Perjalanan yang jauh dan panjang, biaya yang mahal, persyaratan yang tidak mudah membuat haji menjadi sebuah perjalanan ibadah yang semakin penting dan tidak semua orang bisa lakukan.

“Untuk itulah gelar haji dianggap layak dan terus disematkan bagi mereka yang berhasil melakukannya,” kata antropolog UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Dadi Darmadi, seperti dikutip dari laman kemenag.go.id, Rabu, 24 Juli 2019.

Sejak awal abad ke-20, industri perjalanan haji semakin besar. Sejumlah perusahaan kapal Belanda juga turut serta di dalamnya. Jemaah haji Nusantara pun semakin besar jumlahnya. “Perjalanan haji relatif lebih mudah dan cepat, tapi gelar haji tetap digunakan dan bahkan semakin populer,” katanya.

Perspektif Kultural 

Kedua, secara kultural. Narasi dan cerita-cerita menarik, heroik, dan mengharukan selama berhaji juga terus berkembang menjadi cerita populer sehingga semakin banyak orang tertarik naik haji. Sebagian besar tokoh-tokoh masyarakat juga bergelar haji.

Cerita-cerita ini terus bersambung hingga kini sehingga menjadi semacam genre tersendiri sebagai memoir. “Hal-hal inilah saya kira yang membuat ibadah haji semakin penting dan gelar haji di Indonesia punya nilai dan status sosial yang tinggi,” kata Dedi.

Perspektif Kolonial

Ketiga, dari perspektif kolonial. Penyematan gelar haji juga punya ceritanya tersendiri. Dulu, karena takut akan pengaruh haji bagi gerakan anti-penjajahan, pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk membatasi jemaah haji dengan berbagai cara.

Salah satu caranya adalah membuka Konsulat Jenderal pertama di Arabia pada 1872. Tugas konsulat ini adalah mencatat pergerakan jemaah dari Hindia Belanda, dan mengharuskan mereka memakai gelar dan atribut pakaian haji agar mudah dikenali dan diawasi.

“Itu dari perspektif kolonial. Padahal menurut Snouck Hurgronje, yang meneliti haji, saat itu, jemaah haji tidak layak ditakuti sebagai anti-penjajah,” kata dia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *