Idul Adha Beda dan Toleransi Umat

Idul Adha Beda
Idul Adha Beda

Oleh: Mundzar Fahman, Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (Unugiri) Bojonegoro.

Hajinews.id – Pelaksanaan Salat Idul Adha tahun ini beda hari.  Sebagian orang Islam melakukan salat Idul Adha Sabtu kemarin. Sedangkan sebagian lainnya baru melaksanakannya Minggu pagi ini.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Perbedaan hari pelaksanaan salat Idul Adha, secara otomatis juga menimbulkan perbedaan waktu dalam pelaksanaan puasa sunah pada Hari Arafah. Mereka yang yakin Hari Raya Idul Adha adalah Sabtu kemarin, tentu mereka juga yakin bahwa waktu untuk berpuasa sunah Arafah adalah Jumat lalu. Sebaliknya, mereka yang yakin Idul Adha adalah hari ini (Minggu, 10 Juli), tentu mereka juga yakin bahwa waktu untuk berpuasa sunah Hari Arafah adalah Sabtu kemarin.

Lalu, ada pertanyaan, bagaimana hukum puasa Arafah ketika jamaah haji sudah selesai wukuf di Arafah? Atau, bagaimana hukum puasa Arafah ketika sudah ada orang berhari raya Idul Adha?

Perbedaan hari pelaksanaan Salat Idul Adha tersebut bersumber dari terjadinya perbedaan dalam menentukan kapan awal masuknya Bulan Dzulhijjah. Sebagian negara, dan sebagian umat Islam yakin bahwa tanggal 1 Dzulhijjah yang lalu bertepatan dengan Hari Kamis tanggal 30 Juni. Sedangkan sebagian lainnya yakin bahwa tanggal 1 Dzulhijjah bertepatan dengan Hari Jumat tanggal 1 Juli.

Pemerintah Arab Saudi meyakini tanggal 1 Dzulhijjah bertepatan dengan Kamis, 30 Juni. Karena itu, Jumat kemarin diyakini sebagai tanggal 9 Dzulhijjah, dan dinyatakan sebagai Hari Wukuf di Arafah bagi jamaah haji dari seluruh dunia. Ada sejumlah negara, terutama yang lokasinya di sekitar Semenanjung Arab yang sama dengan Arab Saudi.

Pemerintah Indonesia berbeda dengan keputusan Arab Saudi. Dalam sidang isbat (penetapan) Kamis lalu diumumkan bahwa tanggal 1 Dzulhijjah bertepatan dengan Jumat tanggal 1 Juli. Karena itu, secara resmi, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa Salat Idul Adha digelar Minggu pagi ini. Tetapi, sebagian umat Islam Indonesia melakukan salat Id pada Hari Sabtu kemarin.

Tetapi, meski terjadi perbedaan hari dalam pelaksanaan Salat Idul Adha, situasi masyarakat aman-aman saja. Masyarakat tenang. Mereka kelihatan makin dewasa. Mereka sepertinya sudah semakin arif dalam menyikapi adanya perbedaan waktu berhari raya. Mungkin karena selama ini sudah pernah sekian kali terjadi perbedaan waktu berhari raya. Baik itu Hari Raya Idul Fitri ataupun Idul Adha. Jumat malam sudah ada takbiran.Tetapi tidak berlebihan. Yang bertakbiran menjaga suasana hati yang tidak bertakbiran. Yang tidak bertakbiran bertoleransi kepada saudaranya yang pingin bertakbiran.

Soal hukum puasa Arafah yang berbeda hari, menurut saya, ya sesuai keyakinan masing-masing. Yang pasti, puasa hari Arafah itu harus tanggal  9 Dzulhijjah, dan Hari Raya Idul Adha itu tanggal 10 Dzuhijjah.

Memang, masih muncul juga suara-suara di antara umat yang mempermasalahkan dan menyalahkan adanya perbedaan itu. Tetapi, suara dan kritik mereka itu masih dalam batas wajar. Masing-masing boleh saja berbeda pendapat. Yang penting tetap rukun dan bisa menjaga ukhuwah (persaudaraan) sesama muslim. Jika perbedaan pendapat tersebut dikelola dengan baik justru akan menghadirkan rahmat bagi umat. Karena umat tidak harus terpaku pada satu pendapat. Dawuhe Kanjeng Nabi Muhammad SAW: Ikhtilafu ummati rahmatun (perbedaan di antara umatku adalah suatu rahmat).

Umat Islam dituntut makin dewasa dalam menyikapi adanya perbedaan pendapat. Baik itu perbedaan terkait akidah (keyakinan), ataupun yang berkaitan dengan model/ pelaksanaan ibadah dan kemasyarakatan (sosial politk). Pengikut madzhab atau aliran yang satu tidak perlu menyalahkan pengikut madzhab lain yang berbeda. Apalagi hingga menghukumi orang lain sesat, ahli bid’ah, musyrik, dan ahli neraka.

Berdakwah (mengajak dan mengingatkan) orang lain yang dianggap salah, itu bagus. Itu boleh saja dilakukan. Tetapi, hendaknya dengan cara-cara yang baik. Dengan kata yang bijak, yang sekiranya tidak malah orang yang didakwahi tersinggung dan marah. Al Qur an mengajarkan, berdakwah itu bil hikmah (dengan ucapan dan sikap yang bijak). Tidak dengan marah dan menghujat. Tidak dengan merendahkan orang lain.

Terkait dengan perbedaan hari Idul Adha saat ini, jika semua orang Islam mau berlapang dada, seharusnya tidak perlu ada yang menyalahkan pihak yang berbeda. Seperti saya singgung di depan, perbedaan itu terjadi karena ada perbedaan dalam meyakini awal/ tanggal 1 Dzuhijjah yang lalu. Ada yang berpedoman pada hasil hisab, dan ada yang berpedoman pada hasil rukyah. Juga, ada perbedaan berapa derajat posisi bulan di atas ufuk agar dapat dianggap sebagai awal bulan Qomariyah. Ada yang membatasi dua derajat. Tetapi ada yang membatasi minimal tiga derajat di atas ufuk.

Umat harus mau berlapang pikiran dalam menghadapi adanya perbedaan seperti itu. Yang penting perbedaan tersebut berdasar pada kajian ilmiah dan dalil naqly (al Qur an dan al Hadits). Bukan karena kepentingan politik, atau karena dasar kebencian satu sama lain, yang kemudian dibungkus dalil agama.

Di era sekarang ini, terutama di tahun politik ini, perbedaan hari raya Idul Adha bisa saja dipolitisasi. Digoreng ke sana kemari dijadikan alat untuk menjatuhkan orang/pihak tertentu. Atau, sebaliknya, untuk mengangkat citra orang/pihak tertentu. Karena itu, umat Islam harus kian dewasa dan cerdas.

 Di tahun politik seperti sekarang ini banyak tulisan atau gambar provokatif untuk kepentingan orang atau kelompok tertentu. Kian susah dibedakan mana berita yang benar (shahih) dan mana berita hoaks (ngibuli). Jangan mudah dikibuli dengan aneka pencitraan…

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *