Inilah Dampak Kehadiran Salafi di Lingkungan Muhammadiyah

Kehadiran Salafi di Lingkungan Muhammadiyah
Dr Ali Trigiyatno SAg MAg
banner 400x400
Hajinews.id – Menurut Dr Ali Trigiyatno SAg MAg, kehadiran kelompok salafi di lingkungan Muhammadiyah membawa dampak positif dan negatif.

Penulis buku Titik Pisah Fikih Salafi-Muhammadiyah itu menyampaikan hal tersebut dalam Pengajian Ahad Pagi yang diselenggarakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tulungagung di Masjid Al Fattah, Tulungagung, Ahad (7/8/2022).

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Adapun dampak positif yang dimaksud, pertama, ghirah kajian Muhammadiyah meningkat karena ada kompetitor.

Kedua, menyadarkan warga Muhammadiyah bahwa ada ruang kosong kajian. Contoh kajian ringan tentang wudhu dan tayamum yang jarang dibahas dalam kajian Persyarikatan. “Ini menjadi ladang garap kelompok salafi,” katanya.

Ketiga energi memakmurkan masjid meningkat karena ada jamaah dari nonpersyarikatan.

Dr Ali Trigiyatno SAg MAg (sembilan dari kanan) (Aji Damanuri/PWMU.CO)

Enam Dampak Negatif

Selain dampak positif, banyak juga dampak negatifnya. Pertama, melemahkan jamaah, dengan cara menyebarkan paham bahwa organisasi adalah haram, dengan dalil yang dipakai di zaman Rasulullah tidak ada organisasi.

“Kelompok salafi, mengharamkan organisasi karena tidak punya ketua, cabang, tidak muktamar. Tapi punya pengikut, guru, kelompok, apa itu bukan organisasi?” kata Ali Trigiyatno.

Kedua, salafi ngrecoki paham Muhammadiyah. Contoh hukum zakat profesi, di Muhannadiyah hukumnya ada. MUI ada. UU zakat ada. Namun salafi tidak ada.

Kiro-kiro warga Muhammadiyah jika disuruh pilih, maka akan pilih tidak bayar zakat profesi,” lanjutnya, bercanda.

Ketiga, membingungkan jamaah di akar rumput. “Karena masjidnya cuman satu, tapi pahamnya ada dua. Contoh saat Idul Fitri yang berbeda, maka masjid akan ada dua shalat Idul Fitri, tentu ini membuat jamaah bingung,” kata Ketua PDM Kabupatan Batang, Jawa tengah itu.

Keempat, Muhammadiyah bisa kena getah dari gaya dakwah salafi yang cenderung tas-tesdan tidak tepo sliro. Saat mereka melakukan kajian di masjid Muhammadiyah dengan menyampaikan dalil sampaikan yang benar walau pahit.

“Namun mereka lupa, dakwah itu harus kekinian dan kedisinian, artinya harus bisa menyesuaikan lingkup masyarakat sekitar,” ujar Ali.

Kelima mengurangi kekompakan warga di akar rumput atau minimal ragu-ragu. Dengan banyaknya perbedaan yang terjadi membuat warga menjadi ragu akan mengikuti keputusan yang mana.

“Finalnya yang keenam, dikuasainya AUM (amal Usaha Muhammadiyah) atau setidaknya dalam kendali paham salafi,” ujar Dosen IAIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan ini.

Di akhir kajiannya Ali Trigiyatno mengajak jamaah mencari perbedaan bukan berarti mencari musuh, yakni lebih pada kehati-hatian jamaah dalam menyikapi jika ada yang berbeda paham.

“Orang Muhammadiyah itu sering menggunakan akal sehingga sangat toleran,” ujarnya. (*)

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *