Negara Sebagai Organisasi Kejahatan

Negara Sebagai Organisasi Kejahatan
Yusuf Blegur
banner 400x400

Oleh: Yusuf Blegur

Hajinews.id – Kasus Ferdi Sambo yang melilit Polri tidak bisa dinilai sebagai masalah personal atau sekedar oknum semata. Pembunuhan disertai penganiayaan seorang ajudan berpangkat brigadir oleh seorang jendral sekaligus atasannya yang menodai tubuh kepolisian itu, merupakan salah satu persoalan struktural dan sistemik yang terjadi hampir di semua institusi negara. Orang dan sistem menyatu dalam syahwat melakukan distorsi penyelenggaraan pemerintahan. Saling memanfaatkan mencari kekayaan dan jabatan, mewujudkannya sebagai kekuasaan yang superior untuk melakukan penyimpangan dan kejahatan kemanusiaan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Publik tersentak, ketika Polri sebagai instrumen negara yang selama ini menyandang gelar sumir. Kembali memunculkan aib yang semakin membuat Polri terpuruk lebih dalam. Tak tanggung-tanggung, fenomena Irjend Ferdi Sambo, membongkar bukan hanya soal pembunuhan semata. Lebih dari itu bau amis menyelimuti kecenderungan rangkaian kejahatan lain seperti korupsi, perselingkuhan, disorientasi seksual, persaingan pengaruh dan jabatan para petinggi, hingga adanya kekuatan mafia yang selama ini samar-samar menguasai korps bhayangkara tersebut. Kasus kompleks yang menyeret beberapa perwira tinggi dan menengah Polri hingga membuat seorang presiden melakukan intervensi. Peristiwa itu semakin mengukuhkan institusi Polri yang sudah sejak lama dibayangi sikap skeptis dan apriori rakyat.

Alih-alih menjadi lembaga yang melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Polri justru banyak melakukan penghianatan dan menghancurkan Tri Brata dan Eka Prasetya yang menjadi kehormatan dan kebanggaan para taruna itu.

Dari pinggir jalan raya, dari pusat bisnis dan hiburan yang dikelola cukong, dari kantor kejaksaan hingga ruang pejabat dan politisi. Publik terlanjur menganggap ada keterlibatan permainan nakal dan kotor yang dilakukan polisi baik yang berseragam maupun berpakaian preman.

Seakan membenarkan ungkapan satir Gus Dur (KH. Abdurahman Wahid), bahwasanya hanya ada tiga polisi yang baik di Indonesia, pertama Jendral Hoegeng mantan Kapolri (alm), kedua, patung polisi dan ketiga, polisi tidur. Presiden keempat RI yang kontroversial itu juga pernah membuat peryataan terbuka terkait keteribatan aparat keamanan termasuk polri, terkait kasus dan penanganan teroris serta pelbagai gerakan intoleran, radikal, fundamental dan ekstrimis lainnya. Sinyalemen itu menguat saat kebijakan polri begitu resisten dan represif terhadap gerakan kritis dari aktifis terlebih kepada para ulama, pemimpin dan tokoh- tokoh Islam. Kasus paling menonjol dan dianggap paling membunuh penegakkan hukum dan rasa keadilan itu, terasa mengganjal pada peristiwa KM 50, yang hingga kini masih diliputi tabir gelap. Dalam segmen seperti itu Polri nyaris langgeng menyandang stigma dan stereotif sebagai alat kekuasaan atau mafia ketimbang menjadi alat negara. Polisi terkesan dicap sebagai anjing penjaga pengusaha hitam dan penguasa lalim dibanding membantu menyelesaikan masalah kaum lemah dan tertindas.

Bisa dimaklumi jika rakyat terutama yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi dan kekuasasn politik, lebih memilih menghindari berurusan dengan polisi. Bagi rakyat, menyelesaikan masalah dengan tanpa keteribatan polisi, itu menjadi lebih baik. Seperti ada anggapan dari publik, kalau lapor kehilangan ayam, maka akan bertambah menjadi kehilangan kambing. Begitulah asumsi yang terus berkembang di sebagian besar masyarakat.

Sungguh miris dan ironis, insitusi Polri yang usianya hanya beda setahun dengan kemerdekaan Indonesia dan selama itupula telah menjadi garda terdepan dalam menciptakan dan menjaga ketertiban masyarakat. Polri mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus menerima pandangan sosial yang “prejudice”, kontradiktif dan ambivalens di mata rakyat. Semboyan presisi pada Polri yang belum lama ini mengemuka, pada kenyataannya hanya berupa ilusi. Contoh soal, tercium kabar dan desas-desus untuk masuk akademi kepolisian dan promosi jabatan, harus mengeluarkan biaya hingga miliaran. Sebuah angka yang fantastis yang harus dipenuhi untuk menjalankan tugas mengabdi dan melayani rakyat, negara dan bangsa. Nominal harga yang sulit dijangkau untuk seorang polisi yang tulus dan jujur namun tak berpunya, yang semata-mata hanya untuk menyerahkan seluruh jiwa dan raganya dalam menjalankan tugas suci kemanusiaan sebagai abdi negara.
Boleh jadi dan mungkin menjadi serba permisif, dengan mekanisme perekrutan taruna dan mutasi jabatan di jajaran polri yang kapitalistik dan transaksional seperti itu, hanya melahirkan kebanyakan polisi korup, tak bermoral dan bengis. Jauh dari integritas, kapabilitas dan akuntabilitas, dalam melayani kepentingan publik, mencintai dan melayani rakyat sepenuh hati.

Namun demikian, layak juga dipertimbangkan bahwa polisi-polisi itu tak berdaya dan tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Mereka terjebak pada satu situasi dan kondisi yang memang sudah buruk sedemikian rupa.

Sistem telah memaksa para polisi baik yang pemula maupun yang senior untuk mengikuti arus dibanding terseret arus, terlepas apakah itu baik atau buruk baginya dan institusi kepolisian. Sistem yang dalam kerusakan akut, telah memperkosa cita-cita, keyakinan dan pengabidian para polisi baik, sehingga ideslisme terkoyak dimangsa paduan suara kejahatan dalam salah-satu organisasi penegak kebenaran dan keadilan yang sejatinya diinginkan dan dirindukan rakyat. Hanya ada “a few good man” dalam sindikat penyamun dan berbahaya di kelembagaan negara yang strategis itu.

Bukan Cuma Polri

Begitu terorganisir, terstruktur dan masif, kebanyakan institusi negara diselimuti praktek- praktek menyimpang. Kasus di tubuh Polri dengan personifikasi Ferdi Sambo, sesungguhnya juga menjadi representasi distorsi mayoritas institusi negara, seandainya tabu dianggap mewakili pemerintah dan negara.
Kecerobohan Ferdi Sambo sekaligus kelemahan Polri itu, sebenarnya menjadi momen “breaking ice” terhadap karut-marutnya hampir semua institusi negara.
Lembaga-lembaga formal dan konstitusional tidak hanya sekedar jauh dari ideal dan menyimpang dari tugas dan fungsi sebenarnya. Malah yang paling konyol dan menyedihkan, sistem dan birokasi yang ada di dalamnya seperti organisasi rentenir yang memeras, organisasi penjahat yang sewaktu-waktu bisa merampok dan menganiaya, serta tak ubahnya sarang binatang buas yang tiba-tiba menerkam, mengoyak luka dan memengancam keselamatan jiwa. Ferdi Sambo bagai menyiratkan telah membuka kotak pandora dari tidak sedikit kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan atas nama negara.

Di Indonesia, negara yang begitu dicintai meski penuh ironi dan kemalangan. Sudah menjadi rahasia umum dan begitu telanjang mempertontonkan distorsi penyelenggaraan negara, baik oleh perilaku pejabatnya maupun tradisi atau kebiasaan yang telah menjadi baku dalam institusi pemerintahan. Behavior pejabat dan aturan birokrasi seolah-olah menyatu menjadi konsorsium kejahatan yang berlindung di balik konstitusi dan sumpah jabatan. Kerusakan mental aparatur negara menjadi begitu sistemik dan tampil secara formal di permukaan.
Publik seperti menyadari dan merasakan langsung, ketika kejahatan secara terselubung yang terorganisir, terstruktur dan masif itu, sudah berlangsung sejak dari hulu hingga ke hilir. Atasan menjadi “the ountachable”, bawahan pasrah dan tak berdaya harus mengikuti, sementara institusi yang melingkupinya dibajak, direkayasa dan dikendalikan menjadi organisasi super body dari kejahatan yang resmi dan menggunakan plat merah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *