Ustadz Bukan Teroris

Ustadz Bukan Teroris
Ustadz Bukan Teroris

Oleh : Ahmad Sastra

Hajinews.id – Alif laam miim. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung (QS Al Baqarah : 1-5).

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Ayat-ayat Al Qur’an diatas dengan jelas memberikan pemahaman bahwa Al Qur’an sebagai firman Allah berfungsi sebagai petunjuk bagi orang-orang bertaqwa. Ketakwaan adalah upaya menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan Allah. Hal ini sejalan dengan ayat-ayat lain dalam Al Qur’an yang memang berisi terkait hukum-hukum perbuatan dengan kategori wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.

Beberapa hari ini heboh seorang yang mengaku pendeta yang membuat konten youtube yang berpotensi menista agama Islam, karena memintan kepada menteri agama untuk menghapus 300 ayat Al Qur’an yang dituduh memuat paham terorisme. Dia juga menuduh bahwa pesantren adalah sarang radikalisme. Padahal narasi terorisme dan radikalisme adalah narasi transnasional dari barat yang jelas tidak relevan jika dikaitkan dengan ayat-ayat Al Qur’an.

Tidak hanya sampai disitu, para pendakwah dan ustadz juga menjadi sasaran tuduhan sebagai kaun radikal bahkan teroris. Ini adalah tuduhan keji yang dilontarkan oleh para cecunguk asing aseng. Sebab pendakwah atau ustadz adalah orang yang justru menebarkan kebaikan dengan menyampaikan ajaran Islam secara kaffah. Jadi jelas seorang ustadz itu bukan teroris. Menuduh Al Qur’an berpaham terorisme, pesantren sebagai sarang radikalisme dan ustadz sebagai teroris adalah tindakan penistaan atas Islam.

Ustadz atau sering dieja Ustad dan Ustadz (Bahasa Arab: الأستاذ al-`Ustadz); (Bahasa Persia: استاد Ustaad) adalah kata dalam bahasa Indonesia yang bermakna pendidik. Kata ini diserap dari bahasa Arab dan Bahasa Persia dari kata, pelafalan dan makna yang sama yaitu guru atau pengajar. Dalam bahasa Indonesia, kata ini lebih merujuk kepada guru, pengajar. “Ustaad” juga adalah gelar kehormatan untuk pria yang digunakan di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Ini digunakan dalam berbagai bahasa di Dunia Muslim, termasuk Bahasa Persia, Bahasa Urdu, Bahasa Bengali, Bahasa Punjabi, Bahasa Pashto, Bahasa Turki dan Bahasa Kurdi.

Gelar ini mendahului nama dan secara historis di Asia Selatan biasanya digunakan untuk guru dan seniman yang dihormati, paling sering musisi, dan diterapkan dan digunakan melalui perjanjian sosial informal. Contohnya, penyanyi Qawwali Sufi ternama dari Pakistan yaitu Ustaad Nusrat Fateh Ali Khan. Selain sebagai penggunaan gelar kehormatan, “Ustaad” umumnya juga digunakan oleh arti harfiahnya untuk merujuk pada guru, pendidik atau seorang ahli dalam Bahasa Urdu, Bahasa Bengali, dan Bahasa Punjabi. Di Persia dan di negara-negara berbahasa Arab, “Ustaad” mengacu pada seorang profesor universitas atau dosen. Di Indonesia, “ustad” digunakan untuk gelar pendidik agama Islam.

Delik penodaan agama yang kerap disebut penistaan agama yang diatur dalam ketentuan Pasal 156 huruf a KUHP ini sesungguhnya bersumber dari Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (UU No. 1/PNPS/1965) yang berbunyi: ”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Prof. Suteki menganggap ucapan pendeta itu sebagai serius crime, yakni kejahatan serius, selain melanggar UU penodaan agama, juga dinilai telah melanggar UU ITE. Prof. Suteki menekankan bahwa Indonesia itu, selain sebagai negara hukum, juga sebagai negara religius, terutama berdasarkan sila satu Pancasila. Oleh sebab itu semestinya pendeta itu segera diproses hukum. Namun faktanya negeri ini seringkali tak menegakkan hukum secara adil. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seringkali tidak terwujud. Yang ada justru sering terjadi diskriminasi hukum.

Penyebutan pesantren sebagai sarang radikalisme tanpa memberikan indikator berkaitan radikalisme justru akan berpotensi menimbulkan kegaduhan di kalangan masyarakat muslim. Pesantren itu kan lembaga yang memiliki program utama pendidikan Islam. Pesantren justru telah banyak memberikan sumbangsih bagi kemajuan negeri ini, terkhusus dalam meletakkan dasar-dasar keimanan dan akhlak bagi generasi bangsa di tengah sistem pendidikan sekuler yang destruktif.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan khas nusantara yang lahir jauh sebelum negara ini lahir. Para kyai, ustadz dan santri yang tinggal di pesantren inilah yang justru berperan besar dalam melawan dan mengusir penjajah yang berlangsung hingga 400 tahun. Penjajah seperti Portugis, Perancis, Belanda, Jepang dan lainnya harus berhadapan para pahlawan ulama yang dengan semangat jihad melawan dan mengusir para penjajah hingga pada akhirnya negeri ini mencapai kemerdakaan pada tahun 1945.

Pesantren dalam sejarah negeri ini adalah lembaga yang dengan sangat konsisten berjuang melawan penjajah. Penjajahan Belanda bagi pesantren jelas tergolong kedzaliman yang harus dilawan jika mereka diperangi. Sejak P. Diponegoro, lalu Imam Bonjol dan Teuku Tjik di Tiro adalah pemimpin pesantren yang melakukan perlawanan menghadapi Belanda selama kurun hampir 100 tahun. Perang  yang dipimpin Diponegoro yang disebut sebagai Perang Jawa adalah perang yang membangkrutkan VoC. Serikat dagang Belanda itu akhirnya harus diambil alih kerajaan Belanda.

Bahkan Belanda harus mengirim Snouck Hurgronje ke Mekkah dan Aceh untuk merumuskan strategi penaklukan Tengku Cik di Tiro dan Tjut Nyak Din untuk memenangkan Belanda dalam perang di Aceh. Setelah upaya mencampuri urusan pengelolaan pesantren melalui UU no 18/2019 tentang Pesantren, dan Perpres 82/2021 tentang Penyelenggaran Pendanaan pesantren, memetakan pesantren dalam perspektif radikalisme adalah sama dengan tindakan  permusuhan penjajah atas pesantren di masa kolonial.  (Pemetaan Pesantren, Daniel Mohammad Rosyid, ©RosyidCollegeOfArts).

Dengan gambaran ini, maka narasi radikalisme yang dikaitkan dengan pesantren adalah kontraproduktif atau bahkan paradoks. Narasi terorisme yang semangatkan kepada sumber hukum Islam Al Qur’an adalah tuduhan keji dari manusia-manusia sampah. Narasi teroris yang disematkan kepada seorang ustadz adalah narasi basi dari para cecunguk asing aseng.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *