STOP Mengeksploitasi Modal Kebangsaan

STOP Mengeksploitasi Modal Kebangsaan
Hasanuddin (Ketua Umum PBHMI 2003-2005), Redaktur Pelaksana Hajinews.id

Oleh Hasanuddin (Ketua Umum PBHMI 2003-2005), Redaktur Pelaksana Hajinews.id

Hajinews.id – Semenjak pemerintah memposisikan Pancasila sebagai “alat penggebuk” untuk menuduh kelompok masyarakat yang berbeda pandangan politik dengan pemerintah, mengatakan mereka sebagai ekstreamis radikal, intoleran anti pluralisme, kita menyaksikan gejolak sosial yang tidak beraturan, chaotic’s di mana-mana. Pembelahan masyarakat secara bipolar menjadi “cebong” untuk para pendukung Jokowi dan “kampret” yang dilabelkan kepada mereka yang berbeda pandangan politik, perlahan namun pasti telah menggerus modol sosial (social capital) yang sangat penting bagi tumbuh kembangnya keanekaragaman (pluralitas) sosial masyarakat. Padahal inilah sesungguhnya modal kebangsaan kita yang paling utama dan terpenting dalam pembangunan.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Pelibatan polisi khususnya dan aparat penegak hukum pada umumnya, para buzzer bayaran pemerintah, media sosial yang massif, untuk terus “menggebuk” mereka yang memiliki pandangan politik berbeda dengan rezim pemerintahan Jokowi itu, menjadikan seolah-olah Bangsa Indonesia telah kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang berbudaya luhur. Bangsa yang mengedepankan welas asih, keramah-tamahan, bangsa yang mengutamakan sikap saling hormat menghormati, bangsa yang berazas kekeluargaan.

Modal Sosial dan Ancaman Resesi Ekonomi

Dari sisi literatur, istilah modal sosial atau social capital, kali pertama di kenalkan oleh L.J Hanifan (1916), dalam konteks usaha meningkatkan produktifitas masyarakat melalui partisipasi aktif sesama anggota komunitas di dalam masyarakat. Pasca L.J Hanifan, selama beberapa dekade, gagasan ini kurang memperoleh perhatian, hingga pada tahun 1956 sekelompok ahli sosiologi di Kananda memunculkan kembali gagasan tentang modal sosial ini, lalu diperkuat dengan munculnya theori pertukaran dari George C. Homans (1961) yang melakukan serangkaian penelitian terhadap ikatan-ikatan komunitas sosial.

Uraian mendalam perihal modal social ini dilakukan oleh Pierre Bourdieu (1972), sekalipun rumusannya baru dikenal luas melalui karya James Colleman (1984), yang mengutipnya melalui karya Glenn Loury (1977) yang mengembangkan konsep ini. Penelitian mendalam dilakukan Coleman (1988) dengan fokus peran partisipatif masyarakat di bidang pendidikan, juga oleh Robert Putnam dalam hal institusionalisasinya. Lalu pada tahun 2000, Woolcook dan Nerayan mempublikasikan hasil penelitian mereka mengenai proses interaksi sosial dalam hal akses terhadap jejaring sosial dan partisipasi di dalam kelompok. Dan yang paling teraktual, karya Fukuyama (2002) menerbitkan hasil penelitiannya dengan berpokus kepada kepercayaan, norma dan jaringan sosial.

Modal sosial adalah nyata sebagai pilar utama yang menopang sebuah bangsa agar bangsa itu bisa bertahan dari berbagai goncangan. Krisis ekonomi-politik tahun 1998, 2008 dapat kita lalui dengan baik tiada lain karena masih kuatnya modal sosial masyarakat kita pada masa itu.

Kini, kita membaca Jokowi begitu khawatir dengan ancaman resesi ekonomi yang sedang di hadapi pada tahun 2023. Jokowi percaya bahwa ancaman resesi ekonomi tahun 2023 itu adalah nyata. Ia bahkan menyebutnya dengan istilah yang hiperbolik, “gelap”. Luhut Panjaitan, tangan kanan Jokowi di segala bidang, telah menyiapkan apa yang dia sebut sebagai “pertahanan rakyat semesta”, untuk menghadapi krisis itu. Sekilas kita bisa melihat bahwa Luhut menaruh harapan kepada sosial capital yang dimiliki Bangsa Indonesia untuk menghadapi resesi ekonomi yang perlahan melanda. Jokowi maupun Luhut semoga menyadari betapa modal sosial itu penting untuk tidak di eksploitasi secara politik, dengan mempermainkan Pancasila, kehidupan keagamaan, dan aneka norma dalam masyarakat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *