Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-5): Mudik Lebaran

Mudik Lebaran
Muhammad Najib, Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
banner 400x400

Karya: Muhammad Najib, Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO

Hajinews.id – Ramadhan memasuki hari ke-23, saat ITM tempat Mujahid kuliah mengumumkan libur dua minggu. Berarti kuliah kembali aktif seminggu sesudah hari raya. Sebenarnya, liburan seperti ini yang sangat dinanti-nanti oleh Mujahid. Pertama, karena Ia bisa pulang kampung dan menjalankan Ramadhan bersama keluarga. Kedua, temantemannya yang bersekolah atau mondok di berbagai pesantren pasti juga pulang, sehingga Ia bisa bernostalgia sembari bertukar cerita dengan mereka. Tapi ada satu hal lagi, orang-orang di kampungnya memandang anakanak muda yang pergi merantau mencari ilmu sebagai orang-orang sukses dan memiliki masa depan yang cerah. Sehingga tak jarang menjadi incaran para gadis di kampung, atau orang tua yang sedang mencari menantu.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Namun, kali ini yang membuat Mujahid merasa sangat berat untuk mudik karena Ia sulit sekali menghindar Ketika dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti; sudah semester berapa sekarang? Atau, kapan lulus kuliahnya? Kalau lulus nanti mau bekerja dimana? Akan tetapi, Mujahid tidak ingin mengecewakan ibunya. Hanya pada liburan seperti inilah seluruh keluarganya bisa berkumpul, berbuka puasa atau Sahur bersama, serta Tarawih bersama. Akhirnya, walau berat hati, Ia memutuskan untuk pulang.

“Assalamu’alaikum”, Mujahid masuk ke rumahnya. Ia menghampiri sang Ibu yang tengah sibuk melayani para pembeli di warung kecil milik mereka.

“Wa’alaikum salam”, jawab si Ibu sambil mencari-cari asal suara. Ia mengenal betul siapa pemilik suara itu. Ketika Ia melihat wajah putra sulungnya, wajah Bu Bisri kaget bercampur gembira. Mujahid lalu mengambil tangan Kanan ibunya, mencium punggung tangan itu sambil menundukkan kepalanya.

“Aduh, Mujahid, jam berapa sampai, kok Ibu nggak lihat?”, Bu Bisri menggosok-gosokan tangannya yang penuh tepung terigu ke kain sarung yang dikenakannya.

“Baru saja, Bu”, sahut Mujahid takzim. Bu Bisri tersenyum. Wajahnya begitu bahagia menatap Anaknya yang kian hari kian dewasa.

“Kamu istirahat dulu di kamar adikmu. Kamar depan mau Ibu bersihkan dulu”. Mujahid mengangguk.

“Tidak usah, Bu. Biar Mujahid di kamar depan saja. Abah mana, Bu?”.

“Abahmu masih di masjid”, jawab Bu Bisri lalu kembali ke warung melayani pembeli yang tengah menunggu.

Mujahid membawa barang-barangnya ke kamar depan yang sering dipakai untuk tamu-tamu yang bermalam di rumahnya. Ia meletakkan ranselnya, kemudian masuk kamar mandi. Setelah mengenakan baju koko, sarung, dan kopiah, Ia menemui Ibunya di warung.

“Saya ke masjid dulu, Bu!”, pamitnya, lalu meninggalkan rumah. Ibu-ibu yang sedang berbelanja tersenyum pada Bu Bisri.

“Wah senengnya, Jeng, punya Anak pinter, taat lagi”, komentar Bu Sarah.

“Alhamdulillah. Ini semua berkat kasih sayang Gusti Allah. Makanya kalau punya Anak, selain menyekolahkannya di tempat baik, jangan lupa juga selalu didoakan”, jawab Ibu Mujahid dengan nada bangga.

“Assalamu’alaikum!”, Mujahid masuk ke dalam Masjid.

“Wa’alaikum salam”, jawab seorang lelaki setengah baya yang tengah bersandar di salah satu tiang masjid, dikelilingi oleh anak anak yang sedang belajar mengaji. Lelaki itu tidak lain dari Pak Bisri, ayah Mujahid. Nama lengkapnya sebenarnya adalah Ahmad Bisri Afandi. Tapi orang kampung lebih suka memanggilnya dengan panggilan Pak Bisri. Mujahid langsung menghampirinya. Menjabat tangannya, lalu mencium punggung tangan itu dengan penuh hormat, dIsaksikan anak-anak yang secara spontan menghentikan ngajinya.

“Kapan sampai nak?”, tanya Pak Bisri.

“Barusan, Bah”, sahut Mujahid.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *