Sumbang Saran Untuk Policy Brief for COVID-19

banner 400x400

Oleh: A. Hanief Saha Ghafur

SKSG Universitas Indonesia

Bacaan Lainnya
banner 400x400

 

Memenuhi permintaan dari Direktorat ISTP, Universitas Indonesia untuk memberi masukan terkait merebaknya virus Covid-19 yang telah ditetapkan sebagai “pandemi dunia”. Direktorat ISTP peduli telah mengundang beberapa dosen UI yang diharapkan dapat memberi kontribusi kepada para pemangku kebijakan.

Policy Brief beranggotakan 10 dosen dari berbagai bidang keahlian. Dari beberapa diskusi online dan teleconference, telah mengkristal beberapa pemikiran yang berkembang. Makalah ini disampaikan dalam acara finalisasi Policy Brief dalam rapat online meeting pada Selasa 14 April 2020, jam 11.00 WIB s/d selesai.

Agenda diskusi dengan tema : Evaluasi Hubungan Kelembagaan Pemerintah Pusat dan Daerah, serta Mekanisme Pendanaan Pemerintah Dalam Kondisi Darurat Bencana Pandemi. Membaca Kepres No.12/2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Diseas 2019/ COVID-19 sebagai Bencana Nasional.

Dalam Kepres ini, khusus terkait dengan struktur pengendaliannya tidak ada perubahan. Tetap sama seperti Kepres tentang PSBB, yaitu ada Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Namun terkait fungsi pengendalian. Kepres 12/2020 ini lebih memperketat bila dibanding dengan Kepres tentang PSBB. Ada lima (5) saran yang perlu saya sampaikan dalam rapat online meeting hari ini, yaitu :

Pertama, Paling tidak ada tiga rentang kendali yang perlu kita kenali dan menjadi perhatian para Pejabat, khususnya para Satgas Covid-19, yaitu :

1) rentang kendali wilayah. Bagi pemerintah pusat, tentu pengendalian wilayah dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Gugus tugas ini membutuhkan pengendalian dangan terus melakukan monitoring dan evaluasi. Memberi arahan kebijakan, membuat panduan, Menyusun protocol khusus, dan sebagainya;

2) rentang kendali kelembagaan. Setiap level pemerintahan, baik pusat, provinsi, kabupaten, kota, desa, kelurahan, bahkan sampai RT dan RW. Ada banyak lembaga yang harus diorganisir dan dikordinasikan. Mulai dari TNI, Polri, Satpol PP, BNPB, relawan, beberapa kementerian terkait, dan lain-lain. Bahkan mereka juga memiliki berbagai level organisasi sampai ke daerah.

3) rentang kendali mobilitas manusia. Subyek manusia inilah yang akan sasaran pengendalian dan pembatasan. Sebab dari sini ada mata rantai yang harus diputus persebarannya.

Kedua, Presiden perlu menerbitkan segera Perpres baru tentang Manajemen Penanggulangan Covid-19.

Mengapa Perpres ini penting ? Sebab dua Perpres hanya berbicara tentang penetapaan keadaan PSBB dan keadaan Bencana Nasional, serta prosedur perizinan bagi daerah yang mengusulkan. Tidak ada peraturan yang memandu bagaimana pemerintah bertindak dan berkordinasi antar instansi ?.

Bagaimana bentuk kelembagaan yang harus dibuat 2 oleh pemerintah pusat dan daerah ?. Bagaimana mengefektifkan garis komando, mengefektifkan kinerja kelembagaan, melakukan monitoring, dan evaluasi ?. Dalam kondisi tidak normal, sangat darurat, dan krisis yang meluas, pemerintah harus fokus dan lebih melihat pada ketiga Undang-Undang, yaitu UU No. 4/1984, UU No.24/2007, dan UU No.6/2018.

Bila ada opsi kewenangan sebagaimana diatur dalam UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka pilihan sentralisasi sementara adalah pilihan paling tepat dibanding desentralisasi dan otonomi daerah.

Presiden dapat menggunakan kewenangan sebagai pemangku kendali Pemerintahan Umum (PUM), lintas wilayah, lintas sektor, dan lintas kordinasi. Sebagai pemangku PUM, Presiden dapat menjadikan kepala daerah sebagai aparatur bawahan langsung (Baca UU 23/2014).

Sebagai bentuk implementasi PUM, Presiden dapat menjadi Ketua Satgas Covid-19 dibantu oleh Menteri terkait. Begitu pula Satgas dimasingmasing daerah, dengan Gubernur, Bupati, dan walikota sebagai ketua Satgas Covid-19.

Ketiga, Dalam Perpres baru, Presiden perlu memberi opsi dengan pilihan bertingkat. Seperti Darurat Bencana Non Alam (DBNA), PSBT (terbatas), PSBB (luas), Karantina Wilayah, Bencana Nasional (BN), dst.

Apapun bentuk opsi itu. Mengapa opsi bertingkat ini perlu ? Sebab Kepres yang ada hanya mencantumkan opsi kebjakan tunggal berupa PSBB yang harus diambil. Tidak ada opsi lain selain PSBB. Sedang kondisi lapangan terus bereskalasi dengan beraneka macam kondisi yang tidak bisa pukul rata sama.

Sebab lain, karena Kepres 12/2020 hanya mencantolkan Covid-19 kepada Undang-Undang No. 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Undang-Undang No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Bahkan Kepres ini sama sekali tidak mencantolkan kepada Undang Undang No.6/2018 tentang Karantina Kesehatan.

Oleh karena itu, perlu ada Kepres baru segera yang membuka beberapa opsi selain Darurat Bencana Non Alam (DBNA), PSBT (terbatas), PSBB (luas), Karantina Wilayah, Bencana Nasional. Bahkan mungkin juga Darurat Sipil di suatu daerah, bila ada indikasi instabilitas keamanan seperti separatism, pemberontakan, dan/atau pembangkangan sipil.

Bila memang opsi itu dibutuhkan, maka tentu perlu ada Kepres baru yang merujuk secara lengkap, utuh, menyeluruh, dan terintegrasi kepada ketiga UU tersebut. Dengan Kepres baru maka opsi pilihan bertingkat itu menjadi sah dan dapat diberlakukan. Dengan opsi bertingkat kepala daerah dapat membuat keputusan lebih fleksibel, cepat, dan tanggap sesuai kondisi di lapangan.

Keempat, perlu lebih memperketat kendali kebijakan mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati, dan/atau walikota, Untuk lebih mengefektifkan kinerja darurat dan garis komando perlu menjadikan Kepala Daerah sebagai komandan Gugus Tugas di daerahnya masing-masing.

Dengan Kepres 12/2020 kepala daerah diberi kewenangan untuk mengambil kebijakan dengan menimbang dan meperhatikan kebijakan dan arahan pemerintah pusat. Tentu saja pemerintah pusat hanya menyangkut masalah strategis. Sedang urusan teknis sebaiknya tetap diberi kewenangan luas kepada kepala daerahnya masing.

Pemerintah secara bertingkat cukup memberi monitoring dan evaluasi. Terutama apa yang terjadi di lapangan.

Kelima, pada tingkat pandemi luas perlu ada pengendalian sentralistik dengan menjadikan hanya ada satu komando. Baik di pusat maupun di daerah masing. Untuk itu, perlu dibangun struktur komando yang menjadikan satuan TNI, Polri, Satpol PP, BNPB, Kanwil, Dinas, Satgas, dan relawan ada dalam satu komando Presiden dan kepala daerah masing-masing. Perlu ada satu Bawah Komando Operasi (BKO) dari masing-masing satuan tersebut di atas.

Untuk sementara waktu komando TNI dan Polri di lapangan misalnya ada di bawah komando Gubernur dan Bupati. Bukan berada di bawah panglimanya masing-masing. Bila selama ini ada Gugus Tugas di pusat dan daerah masing-masing. Bila selama ini garis komando ada di masing-masing satuan. Maka dengan kasus pandemi Covid-19 masing-masing satuan harus ada dalam satu komando kepala daerah dalam Gugus Tugas.

Bila Presiden sudah otomatis dia 3 adalah Panglima tertinggi. Namun Gubernur, Bupati, dan Walikota bukan sekaligus panglima di daerahnya. Jadi perlu ada peneguhan status jabatan terhadap Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai komandan lapangan. Tujuannya adalah untuk lebih mengefektifkan garis komando di lapangan. Demikian, pokok saran dan pemikiran ini disampaikan. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

Atas perhatian dan kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.

Depok, 14 April 2020 HSG

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *