Disway: Listrik Atap

Listrik Atap
-

Oleh: Dahlan Iskan

Hajinews.id – MASIH dua lagi yang mendapatkan penghargaan IBEA Majalah Listrik Indonesia tiga hari lalu itu: Dirut PLN saat ini, Dr Darmawan Prasojo dan sepeda motor listrik pendatang baru: E-Trans.

Bacaan Lainnya
banner 400x400

Dua-duanya mendapat penghargaan khusus.

Dr Darmo, nama panggilan Dirut PLN itu, dinilai sukses menjadi pilot transformasi ke energi hijau. Darmo juga dinilai sukses dalam melakukan penyehatan keuangan PLN di masa sulit akibat pandemi.

Darmo berhasil melakukan negosiasi dengan listrik swasta. Itu saja bisa menghemat keuangan PLN Rp 47 triliun. Setidaknya bisa menghindarkan PLN dari ancaman kesulitan keuangan yang berat.

Dr Darmo memang seorang ekonom. Ia doktor lulusan salah satu universitas terbaik Amerika: Texas A&M.

Setamat SMAN 1 Magelang, Darmo dikirim BPPT ke Texas. Untuk S1 dan S2 bidang teknologi. Ia pun lulus di bidang teknologi komputer bisnis dan komputer industri.

BPPT sendiri lantas berubah. Darmo tidak pulang. Ia lanjut mengambil S3 bidang ekonomi. “Ampuuuuuuun Pak Habibie…,” guraunya di sebelah saya sambil menangkupkan tangan di atas kepala. Banyak juga tokoh kelistrikan yang menyaksikan adegan sebelum acara IBEA itu. Semua tertawa.

“Ampuuuuun… Saya dulu diharapkan pulang jadi engineer, ternyata saya pulang jadi ekonom,” guraunya.

Kini Darmo 52 tahun. Ia tidak sekadar ekonom. Ia ekonom yang berpengalaman. Ia 17 tahun di Amerika. Ia pendukung penting Jokowi saat akan maju sebagai presiden periode pertama. Ia aktif di PDI-Perjuangan. Lalu ditarik ke kantor staf presiden. Setelah jadi wakil dirut, sejak 2021, Darmo jadi dirut PLN.

Penghargaan khusus satunya lagi diberikan ke E-Trans. Inilah sepeda motor listrik pertama di Indonesia yang menggunakan baterai berbahan graphene. Bukan lagi lithium-ion. Density-nya lebih tinggi dan waktu charging-nya lebih singkat. Saya lihat modelnya-pun cantik. Saya sudah memesan dua unit agar jadi orang pertama di  Surabaya yang memilikinya.

Di Indonesia, tiap dirut PLN ternyata punya tantangannya sendiri. Yang terberat sekarang ini: transisi ke green energy.

Itu sudah menjadi komitmen pemerintah kepada dunia. Komitmen itu harus dilewatkan PLN. Pemerintah lewat kementerian ESDM, mengontrol PLN agar komitmen itu dilaksanakan.

Bagi PLN itu ibarat diberi senjata berburu tapi bisa menembak kakinya sendiri.

Misalnya pemerintah menerbitkan  aturan baru: membuka selebar-lebarnya investasi green energy. PLN diwajibkan menerima listrik green energy itu. Harus membeli. Pun dengan harga lebih mahal dari harga jual listrik PLN ke konsumen.

Demikian juga atap-atap pabrik diizinkan ditumpangi panel surya. Listriknya bisa dipakai pabrik itu. Pemakaian listrik dari PLN pun menurun.

Di saat mendung dan hujan pabrik pindah ke listrik PLN lagi. Dalam kasus ini, PLN hanya dipakai untuk just in case. Enaknya diambil investor, tidak enaknya dipikulkan ke PLN.

Kalau semua pabrik sudah menggunakan panel surya, betapa besar penurunan konsumsi listrik PLN di siang hari.

PLN akan senang-senang saja kalau misalnya, ”sumbangan” dari panel surya itu terjadi di malam hari. Khususnya antara pukul 17.00 sampai 22.00. Pada jam seperti itulah PLN sangat perlu pasokan listrik. Bukan di siang hari. Sayangnya pada jam-jam itu panel surya tidak menghasilkan listrik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *