Mutiara Kaligrafi Ramadan: Mengubah Warna di Bulan Puasa

Mengubah Warna di Bulan Puasa
Lukisan kaligrafi

Oleh: Didin Sirojuddin AR

وبعدَالصَّوْمِ أربَعين يومًا، أصْبحَتِ

Bacaan Lainnya
banner 400x400

الدّودَةُ فَراشةًتَطِيرُ. فتغيَّرتْ ألوانُهاوجِسمُهاجميلةً جِدّا.

“Setelah puasa 40 hari, ulat itu menjadi kupu-kupu terbang. Maka, warna-warna dan tampilannya pun berubah jadi cantiiiiiik sekali.”

Hajinews.id – IBADAH puasa yang berperan mengubah “manusia biasa”  menjadi “manusia MUTTAQIN  luarbiasa” memberi inspirasi untuk mengubah warna PUTIHnya kaligrafi   إن الله هو الغني الحميد     (QS Luqman 26) menjadi WaRNa-wARni.  PUTIH artinya suci. Melambangkan kesucian, tapi statis dan datar. Biasa-biasa saja, tanpa DINAMIKA. Akhirnya, dengan mengcopy  Ramadan yang dinamis dan kaya nuansa, saya olah kepada warna KUNING emas (yang berarti agung, cerah, dan rezeki melimpah), MERAH (yang berarti berani), HIJAU (yang berarti subur makmur, harapan), BIRU (yang berarti anggun,  berwibawa),  dengan prioritas PUTIH untuk selalu konsisten  menjaga kesucian. Melibatkan warna PUTIH, kata Mohyeddin Tolu dalam kitabnya, Allaon ‘Ilman wa ‘Amalan,  ada positifnya:

دَرجةُ اللَّونِ: Tint هى جعلُ اللّونِ أكثرَ إضاءة پإضافةِ الأبيضِ له

Artinya: “Level warna (Tint), yaitu membuat warna lebih bercahaya dengan menambahkan PUTIH kepadanya.”

Dalam kitabnya,  Color Harmony: A Guide to Creative Color Combination, Hideaki Chijiiwa menyimpulkan bahwa “memilih warna adalah seni” (choosing color is fun). Maka, lukisan yang digubah dari satu warna menjadi warna-warni menunjukkan kesempurnaannya karena, kata Mohyeddin lagi,  telah menjadi tercakup dalam satu unit KARAKTER WARNA (خواص اللون), yaitu:  الشكل (HUE/jenis2 warna),  القيمة  (Value/nilai), dan الكثافة (Intensity/level olah). Walhasil, perubahan ke warna-warna beragam mengubah lukisan jadi lebih bagus dan artistik.

Oya, PUASAnya bagaimana?

Ramadan maknanya  “pembakaran”. Seperti genteng dan bata dibakar supaya tambah kuat dan tahan banting, tidak hancur kehujanan tidak retak kepanasan. Setelah “dibakar” untuk digembleng, ditempa, dan dilatih, para shoimin seharusnya BERUBAH menjadi “manusia baru” yang lebih kuat menahan hawa nafsu, lebih giat qiyamullail, lebih rajin membaca  Alquran dan selalu siap mengamalkan isinya, dan tambah dermawan. Tentu, semua pencapaian tersebut “harus dengan ILMUnya” (فعليه بالعلم), karena puasa juga merupakan “ajang menuntut ilmu”. Artinya, puasa tanpa ilmu hanya menghasilkan “puasa minimalis”, yakni “minimal tidak makan dan minum.” Hanya itu. Ini berbahaya dan merugikan, karena akan distempel Nabi SAW dengan cap:

رُبَّ صائمٍ: حَظُّه من صِيامِه الجوعُ والعطشُ.

Artinya: “Betapa kerap  orang berpuasa: yang dia dapat dari puasanya hanyalah  lapar dan haus.” (HR Thabrani dari Ibnu Umar)

Untuk berubah, dia harus nglakoni “puasa maximalis”. Artinya, mengisi hari-hari puasanya dengan kegiatan amal shaleh yang padat, siang-malam secara maksimal. Puasanya dilakoni dengan taktis alias dengan ilmunya, mengikuti tata cara dari Nabi SAW:

من صامَ رمضانَ وعَرَفَ حُدودَه وتَحَفَّظَ مِمَّاكان يَنْبَغى أن يتَحفَّظ منه كُفّر ما قبلَه.

Artinya: “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan dan mengetahui BATAS ATURANnya serta menjaga apa-apa yang seharusnya dijaga, dia akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” (HR Ahmad dan Baihaqi dari Abu Said Al-Khudri)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *